KODE-4

Wednesday, June 20, 2007

Dito Natura dan Wakidi


OLEH BUDIMAN
Pameran seni lukis yang berlangsung di Hotel Bumiminang Padang tanggal 14 – 31 Desember ini oleh kelompok Dito Natura adalah semacam bentuk kristalisasi mengenang 116 tahun sang maestro Wakidi. Karena orang-orang kelompok Dito Natura ; Ar. Nizar, Firman Ismail, Jhaya, Idran Wakidi, Yose Rizal dan Yazid mereka semua merupakan murid-murid Wakidi yang telah banyak belajar perihal melukis dan perjalanan sang guru sendiri sebagai pelukis. Jadi pameran ini merupakan akumulasi rasa kecintaan yang tinggi dan mendalam mereka semua terhadap Wakidi yang dianggap telah berjasa besar tidak saja pada muridnya tapi juga pada perjalanan seni lukis di Sumatera Barat.

Wakidi pantas untuk dikenang sebagai tokoh bahkan maestro dalam konstelasi seni rupa Sumbar. Beliau telah menciptakan sejarahnya sendiri di ranah kebudayaan Sumbar bahkan Indonesia dalam konteks seni lukis yang mana dapat kita lihat dan rasakan sampai sekarang. Dengan corak naturalistik yang banyak menggali alam Minang dimana ia berada menjadikan Wakidi sangat mem’bumi’ dalam pilar kesenilukisan terutama di Sumbar. Makanya Wakidi dan alam tidak bisa dipisahkan, dikarenakan alam adalah kehidupannya.
Kemudian pertanyaan kita, setelah Wakidi lalu siapa lagi yang membangun sejarah berikutnya. Apakah kita hanya sibuk menokohkan beliau sedangkan kita sendiri tidak pernah membesarkan diri kita pula. Wakidi telah berbuat banyak, berjuang bahkan telah menorehkan tinta emas di ranah seni lukis Sumbar makanya kita wajib menghormati beliau. Pameran ini menghadirkan pelukis-pelukis didikan Wakidi yang tentunya muncul dengan ragam naturalistik yang berbeda dengan sang guru. Tapi suasana yang dibangun dalam pameran terlihat mengarahkan perhatian pada ketokohan Wakidi semata, yang mana kesannya mengaburkan karakter dan peran pelukis-pelukis yang berpameran.
Dito Natura bukan Wakidi dan Wakidi juga bukan Dito Natura. Persoalan krusial dalam masalah ini adalah ketika salah dalam menafsirkan maksud yang hendak diinginkan dan terjebak hanya sebatas nontalgia. Artinya citra yang dibangun dapat dibaca sebagai cerminan internalisasi persoalan bahasa rupa konteksnya masing-masing bukan memaksakan pada persoalan sesuatu yang telah berlalu (Wakidi). Sebab wacana yang hadir memperlihatkan satu sisi pemikiran yang menjebak orang mengarah pada hal tersebut saja.
Dalam permasalahan ini kita bisa bercermin dengan pelukis Syamsulbahar yang mampu melahirkan sejarahnya sendiri sebagai pelukis yang berkarakter yakni karakternya sendiri. Harapannya pelukis di Dito Natura pun berbuat yang sama yang mana gerakan yang mereka bangun tidak saja memperlihatkan bahwa mereka murid-murid Wakidi tapi juga mengukuhkan mereka sebagai pelukis profesional dengan karakter masing-masing.
Bila kita perhatikan dengan seksama dari masing-masing pelukis Dito Natura ini telah mampu membuat perjalanan sendiri-sendiri. Bahkan ketika tidak dihubung-hubungkan dengan Wakidi pun mereka sebenarnya telah memiliki kekuatan visual tematik mereka yang sangat menarik untuk dicermati dari masing-masingnya. Sebut saja Ar. Nizar (54), dalam lukisan-lukisannya terlihat banyak mengungkap visual estetis dengan memindahkan pendalaman rasa dan makna dari kedekatannya pada alam itu sendiri. Bahasa visual yang tergambar tidak saja mampu menghadirkan idiom-idiom yang mengajak kita ‘bersetubuh’ dengan alam tapi membuat perasaan kita jadi lepas dengannya. Ungkapan perasaan yang mengalir lewat interpretasinya terhadap alam memperlihatkan ia betul-betul berkuasa terhadap objek (subjek matter) yang menjadi garapannya seperti lukisan berjudul “Pantai”. Gambaran yang tampak menghadirkan suasana pantai nan permai yang diisi oleh kesibukan para nelayan lengkap dengan perahunya. Disinilah kelihaian pelukis Ar. Nizar, ia tidak semata-mata mengahadirkan objek yang indah sesuai dengan aslinya, tapi ia mampu mengubah alam tersebut sesuai dengan penafsirannya yang mana mengajak orang berfikir ada apa dibalik gambaran itu.
Firman Ismail (49) lain lagi persoalan yang diusungnya yakni lebih banyak mengadopsi alam secara langsung. Artinya ia lebih banyak menghadirkan objek alam apa adanya tanpa berani mengadakan interpretasi terhadapnya. Hampir-hampir yang menonjol dalam setiap lukisan-lukisannya objek yang estetis dan artistik seperti lukisan “Ngarai Sianok” dan “Bunga”. Gambaran lain yang terbaca dari idealisme dalam lukisan-lukisannya ini adalah ia terlalu terpaku pada realitas objek dialam. Objek tersebut dipindahkan begitu saja tanpa ada keberanian untuk menjadikannya lebih bermakna dan bercerita sesuai permasalahan yang dikehendakinya.
Idran Wakidi (52) sebenarnya sangat berbeda dengan bapaknya Wakidi. Tapi dalam karya-karyanya ada kesan mendompleng gaya dan sudut pandang sang bapak. Mulai dari objek, warna yang lembut dan lain sebagainya. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk membuat hal yang sama dengan sang bapak tetap saja ia sangat berbeda. Persoalan personalitas adalah kunci yang membedakan seseorang dengan seseorang lain yang mana masing-masing berjalan dengan perjalanannya. Dari gambaran yang terlihat di lukisan-lukisan Idran Wakidi dapat kita baca bahwa ia menggarap objek lebih banyak melakukan penyederahaan secara teknis, warna, dan ide. Objek yang menjadi garapannya mengarahkan orang pada suasana suatu lingkungan atau daerah tertentu. Seperti lukisan yang berjudul “Dari Pasar”, disini nampak gambaran seorang perempuan yang baru pulang dari pasar dengan membawa barang belanja yang mana menceritakan pada kita diselingkung gunung terdapat sebuah pedesaan yang alami dan bersahaja.
Suryadinata Jhaya (42) merupakan pelukis yang baru saja terdengar namanya dibelantara seni rupa Sumbar. Bila kita cermati dari lukisan-lukisan karya Jhaya ini masih mentah dari segi teknis dan penggarapannya. Mungkin ini dikarenakan ia masih baru dalam melukis. Tapi keberaniannya menampilkan objek sungguh memberikan penilaian yang positif. Ia menggarap objek sangat jauh berbeda dari pelukis-pelukis lain di kelompoknya yang mana sangat nampak ia memahami alam dengan apa adanya di atas kanvas tanpa melakukan pendalaman dari realitas yang telah ada tersebut. Artinya secara keseluruhan dari lukisan-lukisan terkesan cerminan alam langsung dengan warna masing-masing. Di lukisannya kurang menonjol kualitas garapan yang benar-benar menghadirkan kekuatan rasa dan teknis, seperti nampak pada lukisan yang berjudul “Kebun Teh”.
Yose Rizal (58), adalah pelukis yang sangat suka sekali menggarap objek dengan detail dengan teknis yang rumit. Ia sangat suka sekali membuat objek kerbau dalam hampir dibanyak lukisannya. Gambaran yang nampak pada visualisasi lukisan-lukisannya lebih banyak menonjolkan manusia dan binatang dalam setting sedang beraktivitas. Sesekali disetiap objek tersebut ia memberikan aksentuasi dengan latar belakang yang sangat dekat dengan suasana yang dibangun seperti alam Minangkabau. Perannya mengatur dan mensinerjikan berbagai objek tampak sangat dominan sekali. Hal ini bisa kita lihat dalam lukisan yang berjudul “Menuju Pasar”, nampak bagaimana Yose Rizal membangun suasana suatu perkampungan yang bergerak dalam aktivitas rutin yaitu pergi kepasar sesuai dengan bawaan masing-masing. Secara teknis ia telah matang sekali bahkan terlihat ia sangat mahir menggunakan teknik tertentu dalam penggarapan objek. Dan umumnya lukisan Yose Rizal terlihat sangat fotografis sekali. Karena mencitrakan suasana alam yang baku sebagaimana realitas sehari-hari.
Yazid (57), merupakan salah seorang pelukis naturalis yang sangat mahir memainkan sapuan kuasnya di atas kanvas. Karakter yang dibangun sangat jauh berbeda dengan gurunya Wakidi yang mana ia mampu menjadikan objek atau alam yang menjadi subjek matter-nya nampak kuat menonjol. Sehingga lukisan tersebut mampu mempesona pengamat dalam ruang keindahan dan ketakjuban. Selain objek yang digarap makin indah dan kuat secara teknis, ia juga mampu memancing perasaan orang yang mengamati tertuju pada imaji-imaji kerinduan. Kemampuan inilah yang menjadikan Yazid terlihat sangat menonjol sebagai seorang pelukis naturalis yang berkarakter. Yazid menggarap objek betul-betul menghamparkan pandangan yang membentang luas yang menimbulkan decak kagum atas usahanya ini. Ini bisa kita saksikan pada lukisannya yang berjudul “Ngarai Lambah”, disini ia menghadirkan gambaran alam yang menyimpan pesona yang kaya dan enerjik dalam bentuk visual. Artinya ia mengolah alam yang dilihatnya dalam penafsiran alam imajinasi yang mendalam dan komunikatif.
Nah, apabila kita tarik benang merah hubungan antara Dito Natura dengan Wakidi rasanya satu sama lain memiliki pijakan masing-masing. Walaupun Dito Natura merupakan murid-murid Wakidi, tapi dalam karya-karyanya masing-masing tetap berbeda bahkan dari perbedaan itu pulalah yang menjadikan mereka semua tetap berada dijalur naturalistik ini. Kalau mereka sama saja dengan Wakidi pasti mereka tidak berani tampil dalam pameran, karena dianggap jelmaan Wakidi.
Pameran Dito Natura ini sah-sah saja bertujuan mengenang 116 tahun Wakidi. Tapi momentum ini adalah merupakan langkah berpijak mereka membangun diri dan ruang dinamika mereka sebagai pelukis profesional. Artinya semangat berpameran bukan hanya dibesarkan atau berada dibelakang nama besar Wakidi tapi benar-benar tampil sebagai kelompok yang mandiri dan kuat. Semangat melahirkan citra yang positif bagi generasi penerus merupakan jalan keluar terbaik dalam mewujudkan hal demikian. Sebab kalau hanya sibuk menokohkan Wakidi dengan mendompleng pada nama besarnya dikuatirkan perjalanan yang telah terbangun oleh pribadi dan kelompok Dito Natura akan terbaca seperti bayang-bayang Wakidi.
Selain itu perlu dicermati bahwa berpameran sejatinya menghadirkan wacana yang memicu dan mamacu dinamika yang mengarah pada kesinambungan perjalanan seni lukis tersebut di tengah-tengah masyarakat. Bukan sebaliknya hanya melahirkan intrik-intrik negatif yang memperlihatkan eklusivitas yang salah penafsiran. Mungkin ini adalah catatan dari sebuah perjalanan kelompok Dito Natura yang bergerak di Sumbar sebagai kelompok lukis naturalistik yang sangat mencintai sang guru mereka yakni Wakidi. Mungkin ini pula maksud mereka yaitu mereka membuka jendela untuk mengenang Wakidi sebagai inspirator dalam seni lukis naturalistik di daera Sumatera Barat sampai saat sekarang. ***
Padang, Desember 2006Budiman, Alumni Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta
Baca juga link relevan

Tentang Wakidi

Wakidi (Palembang, 1889/1890–Sumatra Barat, 1979) adalah seorang pelukis Indonesia yang lukisannya banyak mengandung corak Mooi Indie (Hindia molek). Bersama dengan Abdullah Surio Subroto (1879-1941) (ayah Basuki Abdullah) dan Pirngadie (1875-1936), Wakidi adalah satu di antara tiga pelukis naturalistik Indonesia yang terkemuka di zamannya. Wakidi mulai melukis sejak usia 10 tahun. Sebagai guru melukis, Wakidi sempat belajar dengan seorang pelukis Belanda bernama van Dick di Kweekschool, Bukittinggi, Sumatra Barat. Meskipun banyak berkarya, hampir semuanya dikoleksi orang, sehingga Wakidi tidak pernah mengadakan pameran lukisannya. Karya-karyanya banyak dikoleksi oleh istana kepresidenan dan sejumlah tokoh penting, seperti wakil-wakil presiden Indonesia, Bung Hatta dan Adam Malik.(selengkapnya...)

Mata Batin Wakidi

SUDAH hampir seperempat abad meninggal, Wakidi masih menyedot perhatian. Pameran lukisannya di Hotel Bumiminang, Padang, 8 Desember 2003-8 Januari 2004, dipadati pengunjung. Sejumlah pengelola dan pemilik galeri berdatangan dari Singapura, Malaysia, Medan, dan Jakarta. Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Medan pun ikut menghadiri pameran bertajuk "Vedute Natura Minangkabau (Menelusuri Jejak-jejak Wakidi 1890-1979)" itu. (Selengkapnya...)


Masih Ada Corak "Mooi Indie"
Wakidi (1890-1979), satu dari tiga pelukis naturalistik Indonesia terkemuka pada zamannya, boleh saja tiada. Namun, sejumlah muridnya masih mempertahankan corak Mooi Indie (Hindia molek). Setidaknya itulah yang terlihat dalam pameran lukisan Spirit of Natura, yang dibuka Gamawan Fauzi, Gubernur Sumatera Barat, Kamis (15/12) di Inna Muara Hotel, Padang, Sumatera Barat. (selengkapnya...)


Kenang 116 Tahun Wakidi, Enam Muridnya Gelar Pameran


Mengenang 116 tahun kelahiran maestro Wakidi (1890-1979), pelukis generasi kedua setelah Raden Saleh, enam muridnya menggelar pameran lukisan bertajuk Selingkung Alam di Hotel Bumi Minang, Padang. Ada 33 lukisan dalam berbagai ukuran, yang menarik untuk dicermati. (selengkapnya...)

No comments:

Post a Comment