KODE-4

Wednesday, July 25, 2007

Catatan Kritis Pekan Budaya Sumatra Barat 2007:

Dari Program yang Gagal sampai Mainan Anak-anak

Oleh Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 resmi ditutup oleh Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, pada 14 Juli 2007 di Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat. Di tempat ini juga, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada 8 Juli 2007 membuka secara alek yang sama.

Galibnya sebuah alek—katakanlah Pekan Budaya—yang disponsori langsung dan tunggal oleh APBD Sumatra Barat yang dikelola dan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat, maka laporan yang disampaikan berkisar kesuksesan besar alek tersebut. Seperti yang sudah-sudah, indikator keberhasilannya adalah jumlah pengunjung yang datang ke Pekan Budaya itu.

Dalam laporan Ketua Umum Pekan Budaya di depan Gubernur Sumatra Barat, dikatakan, sebanyak 65.000 orang datang ke Taman Budaya Sumatra Barat semenjak tanggal 8-14 Juli 2007. “Jumlah ini cukup menggembirakan,” kata James Hellyward dalam pidatonya.

Selain jumlah pengunjung, yang kita sendiri tak tahu bagaimana mengukur dan mendapatkan hasil yang demikian itu, juga disebutkan bermacam acara seni dan budaya yang diikuti kota dan kabupaten se-Sumatra Barat, berjalan dengan baik dan sukses, termasuk los lambuang itu.

“Los lambuang yang kita sediakan mendapat sambutan yang antusias dari pengunjung dan masyarakat. Hampir 24 jam los lambuang itu selalu dipenuhi pengunjungan,” tuturnya Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat itu penuh semangat. Lalu, ia melanjutkan, tahun depan Pekan Budaya ini terus kita lanjutkan. “Jadwalnya minggu kedua bulan Juli.”

Memang, demikianlah sebuah laporan. Apalagi laporan itu mesti didengar atasan, dan juga publik, tentu isinya berkisar pada keberhasilan dan lancarnya sebuah acara dilaksanakan. Tak ada laporan yang berisikan sejauh mana target dari acara itu terpenuhi. Misalnya, untuk program “Lomba Bakaba”, “Lomba Mewarnai Gambar”, “Lomba Melukis”, “Tari Piring”, “Festival Legenda”, “Seni Tradisi Spesifik”, dan lain sebagainya, berapa jumlah masing-masing item acara itu diikuti oleh peserta dari kota dan kapupaten yang ada di Sumatra Barat? Berapa persentase capaian keberhasilan dari target yang dibuat?

Bagi publik (seniman, budayawan, pemerhati budaya, lembaga terkait, DPRD, dan juga bagi panitia sendiri), capaian dan target keberhasilan itu penting artinya. Sebab, dari hasil itu, semua pihak bisa mengevaluasi, semua orang bisa berpikir berdasarkan data dan fakta, dan selanjutnya terbaca titik-titik kelemahan dan kekurangan. Dan semua kita tentu akan sangat sepakat untuk menutupinya dengan persiapan dan konsep yang lebih jelas.

Dari “pencatatan” yang saya lakukan semenjak, persiapan Pekan Budaya ini pada bulan Januari 2007 hingga usai acara ini pada 14 Juli 2007, saya menyimpulkan, pola kerja sangat terkesan birokratif, tertutup, dan jumlah panitia yang sangat gemuk.

Pola kerja seperti itu memang bukan saja terjadi pada Pekan Budaya saat sekarang ini. Semenjak tahun 2004—Pekan Budaya pertama sejak reformasi—aroma serupa sudah kental melekat. Selain itu pula, bahwa ini diasosiasikan sebagai proyek bagi para birokrat terkait dan juga pejabat-pejabat yang punya kuasa, jelas memperburuk kondisi dan kerja, serta hasil yang mau dicapai dari Pekan Budaya itu sendiri.

Baiklah, sementara berbicara mengenai pola kerja itu kita tinggalkan. Kini kita coba membaca dengan saksama kinerja dan sejauh mana capaian dari sekian banyak program yang dibuat panitia Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Jika mengacu pada sistem dan pola kerja yang berbasis pada partisapasi publik, maka ukurannya adalah kuantitatif. Jumlah keterlibatan publik, keikutsertaan, dan keterlibatannya dalam sebuah program. Pekan Budaya ini menggunakan pola itu. Maka, 19 kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat sebagai partisipan atau target yang mau dicapai. Keberhasilan program terukur dari jumlah yang mau berpartisipasi.

Maka, dari semua item, iven, dan mata acara yang sudah disiapkan pada Pekan Budaya ini, bagaimana tingkat teterlibatan dan partisipasi kota dan kabupaten yang ada di daerah ini yang jumlah 19 itu? Tercapaikah target yang diinginkan?

Saya kira, inilah persoalannya. Beberapa contoh dapat kita buktikan untuk menjawabya. Misal, program yang disebut dengan “Lomba Bakaba”. Peserta mata acara ini cuma 3 orang, dan “Festival Legenda” malah diikuti 1 orang, puisi 12 orang (minus Kota Padang), tari piring 5 utusan, melukis 9 orang, dan juga kota dan kabupaten yang mengisi “los lambuang” yang terlihat dalam papan nama cuma Dharmasraya, selebihnya tak kita jumpai makanan yang khas yang jadi unggulan dari kota dan kaputen yang ada di Sumatra Barat. Yang hadir dalam los lambuang itu adalah pedagang biasa berjualan di kaki lima.

Dari sebagian data-data itu tergambar sudah sejauh mana capaian itu. Untuk “bakaba” dan “legenda”, misalnya, jelas sangat jauh dari harapan dan malah angka itu sangat ironis. Hampir semua kota dan kabupaten, sampai tingkat nagari-nagari di Minangkabau ini memiliki tradisi bakaba dan juga punya legenda masing-masing. Jika dalam Pekan Budaya yang dikesankan sangat hebat dan penuh warna-warni ini hanya diikuti tak sampai hitungan sebelah jari itu, jelas ada yang salah di tubuh pelaksanaan Pekan Budaya itu. Dan demikian juga dengan mata acara lainnya.

Persiapan yang dilakukan semenjak Januari 2007, tentu sangat mengesankan menjadi kerja yang setengah sia-sia jika diukur dari hasil yang dicapai pada hari pelaksanaannya, yang sebagian mata acara itu tingkat keberhasilannya tak mencapai 50%, dan memang ada juga beberapa mata acara yang cukup sukses dilaksanakan. Tapi, secara umum, Pekan Budaya tak memberi capaian yang memuaskan dariu sudut pastisipasi kota dan kabupaten.

Menilik hal ini, tentu ada sesuatu salah. Paling tidak ada permasalahan di dalamnya. Pertama, tak jelasnya konsep program yang dirancang. Kedua, sudahlah konsep tak jelas, sosialisasi pun tak dilakukan secara maksimal di tingkat partisipan. Ketiga, banyak panitia yang tak tahu apa yang mesti dikerjakan karena tidak adanya pola kerja yang jelas. Dan keempat, tidak ada kewajiban bagi pemerintah kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat untuk ikut secara aktif dengan mengalokasikan dananya secara maksimal dalam Pekan Budaya yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Namun, terkait dengan ini, sesungguhya masalahnya bisa diatasi jika panitia secara serius mau berdialog dan mengkomunikasikannya dengan pemko dan pemkab. Tapi inilah yang tak dilakukan.

Pekan Raya Provinsi Sumatra Barat

Merunut pada hakikat pada kata “pekan” yang melekat pada Pekan Budaya Sumatra Barat, serta keterkaitannya dengan “menghimpun” pedagang di dalam Taman Budaya Sumatra Barat, memang tepat adanya. Memang benar demikian arti dari sebuah “pekan” jika kita mau membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), yaitu pasar malam dengan bermacam-macam pertunjukan.

Itu pula sebabnya muncul yang namanya Pekan Raya Jakarta, Pekan Raya Padang (Padang Fair), dan Pedati untuk Kota Bukittinggi, sekadar menyebut contoh. Karena memang dalam program yang memakai “pekan” itu—tapi kini banyak diganti dengan fair—diformulasikan sebagai ajang untuk berjualan, promosi pruduk, dan sekaligus “melegimasikan” keberadaan pedagang kaki lima yang biasanya kerap kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Kini, atas nama bayaran sewa tempat, tenda, listrik, dan lain sebagainya, mereka tak cemas lagi diusir petugas. Mereka berdagang.

Biasanya setiap acara yang begini selalu ramai. Selain berjualan dan berpromosi, di arena itu juga disiapkan beragam hiburan, lomba, dan pertunjukan seni yang menarik bagi masyarakat. Inilah hakikat dari sebuah “pekan”. Karena konsep “pekan” itu adalah keramaian, maka, tuntutan pertunjukan dan lomba adalah yang mampu mengumpulkan banyak orang. Atau paling tidak harus terkesan ramai.

Maka, Pekan Budaya Sumatra Barat tak jauh berbeda dengan pekan-pekan yang digelar berbagai kota di Indonesia, dan sudah jelas tidak akan berbeda jauh dengan Padang Fair yang akan digelar pada 8-16 Agustus 2007. Malah, saya memprediksi jauh lebih bagus dari Pekan Budaya Sumatra Barat, baik persiapan maupun materinya. Selain itu pula, mereka tidak mau memberi embel-embel “budaya” di dalam judul besar acaranya. Dan sepanjang yang saya ketahui, ukuran keberhasilan setiap program Parsenibud Provinsi Sumatra Barat adalah angka dan jumlah orang yang datang ke suatu ivennya.

Tentu, jika hakikat Pekan Budaya Sumatra Barat sama dengan “pekan-pekan” yang pernah digelar di berbagai kota di Nusantara ini, sebaiknya dibuang saja kata “budaya” dan diganti dengan “raya”, maka selanjutnya disebut “Pekan Raya Sumatra Barat”. Dan panitia atau pihak terkait bisa melepaskan diri jika ada yang menuding “berladang di punggung budaya”. ***

No comments:

Post a Comment