KODE-4

Friday, August 24, 2007

Mengapa Saya Menurunkan Sajak-sajak Saeful Badar?

Oleh Rahim Asyik
TULISAN ini saya buat sebagai sebentuk pertanggungjawaban, barangkali pembelaan –bukan permintaan maaf-- terhadap hal-hal yang terjadi menyusul terbitnya salah satu sajak karya Saeful Badar.
Kurang lebih dua tahun lalu saya menerima warisan "Khazanah" dalam citra yang karut marut (kata karut marut mungkin berasal dari harut marut. Harut dan Marut adalah nama sepasang malaikat yang diturunkan Tuhan di sebuah sumur di Negeri Babil. Kedua malaikat ini mengajarkan sihir kepada manusia sehingga dengan sihir itu seseorang dapat menceraikan pasangannya (lihat Albaqarah: 102).

Pendeknya, ada juga ternyata malaikat yang tidak baik, tidak tunduk patuh seperti yang
kita pahami sekarang). Saya mungkin satu dari sedikit (kalau tidak bias dikatakan satu-satunya) pengasuh rubrik seni budaya di Indonesia yang tidak berlatar sastrawan, penyair, atau seniman. Saya juga tidak berpendidikan sastra. Jadi, tak perlu aneh kalau pilihan saya akan karya sastra yang diturunkan di "Khazanah" buruk.
Ada banyak alasan mengapa saya menurunkan karya yang satu dan tidak yang lainnya. Salah satunya adalah memenuhi kaidah estetis. Bila diartikan secara sempit, itu berarti sesuai selera saya. Saya percaya, soal selera ini adalah pendorong utama yang menyebabkan seseorang menyukai sajak yang satu dan tidak yang lainnya. Selera tidak bisa diperdebatkan karena sifatnya personal, tetapi bukannya tidak bias dirasionalisasi.
Selera yang baik muncul dari pengalaman yang panjang dan bacaan yang luas. Semakin luas pengalaman dan kaya bacaannya, selera orang itu akan semakin "bermutu tinggi", tentulah secara intelektual. Semakin pula dia bisa mengupas kelebihan dan kekurangan sebuah sajak sekaligus memaknainya. Pada titik tertentu, selera tak bisa sepenuhnya dirasionalisasi.
Subagyo Sastrowardoyo dan A. Teeuw saja terlihat rikuh ketika harus mengupas karya sastra yang disukainya. Pisau teori yang dikuasainya mungkin akan mengupas wajah Karya yang disukanya itu jadi bopeng-bopeng di sana-sini. Harus kembali diakui, rasio serba terbatas. Mereka yang pengalamannya luas dan bacaannya banyak umumnya menganggap Sajak "Malaikat" itu tidak bermutu, semacam sajak palsu. Itu sangat bisa saya mengerti dalam konteks di atas. Akan tetapi, kaidah estetis hanyalah salah satu pertimbangan saja. Terus terang, kadang dengan sadar saya mengabaikannya, meski tidak tega kalau sepenuhnya. Kejenuhan mengonsumsi sajak-sajak yang mainstream membuat saya sekali-sekali ingin bertualang.
Oleh-olehnya bisa ditemukan pembaca Khazanah. Ada sajak berbahasa Sunda, Cirebon, ada naskah monolog, subrubrik sundapedia, pameran drawing (bersamaan dengan turunnya sajak Saeful Badar, turun cerpen "Jalan-jalan Minggu" karya Pidi Baiq. Ini juga cerpen yang aneh).
Saya beruntung berada di media yang bukan nomor satu. Dengan begitu, saya lebih leluasa bereksperimen. Sayaselalu tergoda untuk berekreasi ke wilayah baru. Dalam pemahaman saya, eksperimen itu akan memberi saling pengaruh positif. Penyair berbahasa ibu Sunda belajar dari sastra Indonesia atau Inggris, demikian sebaliknya. Dampak lainnya, meluaskan pembacanya.
Saya setuju, saat ini adalah "cuaca yang sangat baik untuk bercocok tanam puisi dan menghasilkan berbagai-bagai jenis puisi". Sayangnya, panen tak selalu berhasil. Puisi organik yang menyehatkan, produksinya masih terbatas dan mahal, juga tak selalu berhasil. Masyarakat masih senang bertanam dan mengonsumsi puisi nonorganik yang tidak menyehatkan karena kebiasaan dan lebih murah. Dalam situasi seperti itu, pertimbangan untuk meluaskan pembaca masuk. Salah satunya adalah dengan merangkul komunitas-komunitas yang ada.
Saya akui, pertimbangan terakhir inilah yang menjadi landasan saya dalam menurunkan sajak -sajak Saeful Badar. Tidak spesifik sajak "Malaikat", tapi seluruh sajak Saeful Badar, sebetulnya tidak sesuai dengan selera estetik saya. Semenjak mengelola "Khazanah", Saeful Badar sudah beberapa kali mengirimkan sajaknya, dengan berbagai cara. Selama itu pula, saya tidak pernah memuatnya karena pertimbangan estetik itu.

Ketika saya menurunkan sajak-sajak Saeful Badar, dorongannya adalah untuk merangkul dan menggairahkan kehidupan bersastra di Sanggar Sastra Tasik, tempat Saeful beraktivitas. Tidak lebih. Akan tetapi, bukan berarti hal yang tidak sesuai selera saya itu menjadi tidak berharga. Saya tidak harus memaksakan selera saya. Saya kadang harus mengalah. Saya tak harus terus-terusan berkerut-kening. Toh, tak semua orang suka Taufik Ismail atau Goenawan Mohamad. Dan jengkol sekarang dijual juga di kafe-kafe. Pembaca juga punya selera yang harus juga dihargai. Siapa tahu selera saya selama ini terlalu buruk. Apalagi mayoritas mereka adalah konsumen padi nonorganik. Dan rasionalisasi atas selera itu bisa saja dilakukan. Terbukti, sajak "Malaikat" juga diapresiasi dengan tulus oleh seorang kawan dari Filipina.
"Sajak itu," katanya, "witty." Cerdik dan jenaka. Yang lainnya mungkin melihat kelebihan sajak itu dengan semangat membela yang berlebihan. Orang menanggapi bagus, buruk, atau biasa-biasa saja, adalah hal yang wajar dan sah-sah saja. Yang tidak wajar ketika tafsir bagus atau buruk sekelompok orang dipaksakan kepada kelompok lainnya. Sajak "Malaikat" adalah korban pemutlakan dan pemaksaan tafsir semacam itu. Sajak ini sebetulnya masih dalam batas wilayah "ekspresi yang aman". Bukankah banyak karya fiksi yang lebih dahsyat yang masih dijual aman di toko buku sana?
Pemutlakan dan pemaksaan tafsir jelas jauh lebih berbahaya ketimbang karyanya itu sendiri. Lebih-lebih kalau itu dilakukan dengan membawa-bawa ayat suci. Pemutlakan dan pemaksaan tafsir ini ibarat meneriaki seseorang di pasar dengan teriakan maling. Orang sepasar akan tak lagi kritis untuk mengecek, apakah dia benar maling atau bukan. Yang akan terjadi lebih dahulu adalah penghakiman massa. Sajak "Malaikat" adalah korban semacam itu.
Dia tidak ditanya, melainkan langsung didakwa, langsung diteriaki maling. Korbannya bukan Cuma Saeful, tapi juga saya, sejumlah penulis yang memilih mogok menulis di Pikiran Rakyat, pembaca, dan menguatnya benih-benih arogansi. Maka, bolehkah kita membiarkan kementang-mentangan itu?

No comments:

Post a Comment