KODE-4

Tuesday, November 6, 2007

Pemekaran Agam dan Problem Nagari

Oleh Nasrul Azwar


Persoalan menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP No 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, hingga kini masih berlangsung. Jika dihitung, PP 84/1999 yang dinilai sarat dengan rekayasa itu, kini telah berusia 8 tahun. Tapi, ujung dari drama “hukum” ini belum tampak ke arah mana cerita diakhiri.

Jika diamati lebih saksama, persoalan PP 84/1999 selalu “menghangat” lagi setiap habis Lebaran: saat tokoh-tokoh yang selama ini berada di perantauan (atau yang merasa tokoh di tengah masyarakat) yang berasal dari Agam, Bukittinggi, atau Sumatra Barat secara umum, pulang kampung berlebaran. Momen Lebaran biasanya diikuti dengan “pertemuan”, “silaturahmi”, “halalbilhalal”, serta bentuk lainnya. Saat itulah, kerap muncul pernyataan seputar soal PP 84/1999, dan diikuti dengan polemik pro-kontra. Semua itu dapat disimak di media massa.

Namun kini, tren mengeluarkan pernyataan oleh “tokoh-tokoh” itu tidak lagi seputar PP 84/1999, telah ditukar dengan wacana pemekaran Kabupaten Agam, yakni dengan mendirikan kabupaten baru dengan nama Kabupeten Agam Timur (Agamtuo), walau kadang dikaitkan juga dengan pro-kontra PP 84/1999.

Gagasan pemekaran itu—seperti biasanya perangai tidak populer politisi lokal— selalu pula disangkutkan kepada keinginan dan aspirasi masyarakat, percepatan pembangunan, memudahkan urusan dan pelayanan masyarakat, dan ini yang unik, pemekaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan PP 84/1999.

Seminggu setelah Lebaran tahun ini, gagasan pemekaran Agam menghiasi halaman-halaman surat kabar yang terbit di Padang. Setiap hari tertulis pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh dan lembaga yang selama ini menyuarakan penolakan terhadap PP 84/1999, misal DPRD Agam. Seperti biasanya, sambil bersilaturahmi ke wakil rakyat ini, segerombolan orang-orang dengan mengatasnamakan masyarakat, menyatakan telah menyampaikan ke DPRD Agam aspirasi rakyat untuk pemekaran dan lain sebagai. Dan ucapan mereka dikutip oleh wartawan yang berpos di gedung DPRD itu. Maka, masukan koranlah tokoh-tokoh itu Kondisi ini sama juga terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini isunya dialihkan ke pemekaran: tampaknya isu pemekaran memang sedang naik daun di negeri ini.

Lahirnya keinginan untuk memekarkan Kabupaten Agam, memang bukan kemauan yang dimunculkan kemarin sore. Ia lahir hampir berbarengan dengan keluarnya PP No 84/1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada tanggal 7 Oktober 1999.

Dalam “sejarahnya”, gagasan pemekaran Agam ini disuarakan Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo sebulan sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana pemekaran itu “dideklarasikan” dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut pada tanggal 22 September 1999. Tokoh-tokoh nagari yang berada di Agam Timur, ketika itu berpendapat, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam.

Munculnya PP 84/1999—tak beberapa lama setelah wacana pemekaran bergulir—gagasan pemekaran seperti mati pucuk. Tenggelam karena kontroversi pro-kontra PP 84/1999. Selain itu, jika PP 84/1999 direalisasikan, maka gagasan pemekaran Agam tak ada gunanya lagi. Sebab, dalam PP 84/1999, wilayah yang masuk dalam tapal batas sebagian besar adalah nagari-nagari yang akan dijadikan kabupaten Agamtuo itu. Dalam PP 84/1999, nagari-nagari itulah yang “diambil” Kota Bukittinggi, yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah-Banuhampu, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang. Kini, isu itu tampaknya mendapat nyawa baru lagi. Akibatnya, hiruk pikuklah mereka menyuarakan pemekaran.

Membaca konstelasi politik yang berkembang di tingkat lokal Agam-Bukittinggi, dengan isu pemekaran, membatalkan PP 84/1999 menjadi sangat penting dan signifikans. Dan ini kayaknya dimanfaatkan secara baik para politisi lokal dengan target tertentu, tentunya.

Sementara, melihat respons masyarakat di tingkat akar rumput, untuk mendirikan kabupaten baru, bagi mereka bukan cerita yang mengasyikkan. Toh, hadirnya kabupaten baru belum menjamin terangkat derajat kehidupannya. Malah, akan membuat kandang-kandang baru pejabat negara untuk mengorupsi uang rakyat.

Dari tahun ke tahun, sejak PP 84/1999 disahkan sebagai produk hukum formal, yang juga memunculkan sederet ekses yang mengikutinya, permasalahannya bukan sekadar PP itu lagi, tapi telah bakisa ke masalah politik. Ia sudah menjadi konsumsi para elit politik lokal. Politisi pusat yang selama ini hanya pulang kampung saat Lebaran, memanfaatkan sentimen primordial, dan rasa kenagarian sebagai bahan untuk “dilemparkan” ke tengah publik dan ranah politik. Ia seolah representasi kepentingan masyarakat luas. Namun sesungguhnya, ia punya target politik untuk pemilihan umum selanjutnya.

Dari itu pula, bagi saya, membuang isu-isu ke tengah masyarakat dengan klaim sebagai aspirasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya, tentang pemekaran Agam itu, jika itu berasal dari mulut seorang politisi, anggap saja sebagai omong kosong: Kita masukkan saja dalam tong sampah yang ada di depan halaman rumah kita.

Dalam kondisi negeri yang masih mencoba merangkak untuk memulihkan nasib mereka akibat bencana alam gempa bumi, mengapungkan keinginan untuk memekarkan Agam, saya kurang bijak. Kurang tepat. Dan tidak perlu. Karena problem utama masyarakat dan nagari-nagari yang berada Agam Timur, bukan pemekaran. Pemulihan ekonomi, kesejahteraan yang rendah, dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di nagari-nagari Agam Timur, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti dicarikan solusinya.

Angka kemiskinan diperkirakan naik drastis pascagempa bumi yang meluluhlantakkan beberapa nagari di Agam Timur pada Maret 2007 lalu. Angka anak putus sekolah akibat kemiskinan juga menjadi problem utama dihadapi hampir setiap nagari di Agam Timur. Rendahnya asupan gizi bagi balita juga jadi soal yang tidak bisa dibiarkan. Tingginya angka kriminal juga menjadi masalah hampir setiap nagari. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengelola nagari, juga jadi soal yang sangat signifikans.

Fakta menunjukkan, rata-rata nagari-nagari di Agam Timur (juga termasuk nagari-nagari yang ada di Sumatra Barat) tak mampu secara mandiri menghidupi roda pemerintahannya. Semua tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Semua aktivitas nyaris berharap dari dana pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan, kurangnya sumber daya manusia yang lebih dinamis dan kreatif, nagari-nagari di Sumatra Barat seperti kehilangan gairah: tampak mati suri. Yang hadir mengisi nagari-nagari itu orang-orang tua yang telah berusia lebih 60 tahun. Dan perhatikan agak serius, semua persoalan demikian itu dihadapi nagari-nagari di Agam Timur. Ini permasalahan yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.

Persoalan PP 84/1999 biarkan saja seperti itu. PP 84/1999 tidak akan mengubah nagari-nagari di sekitar itu menjadi hebat dan maju. Demikian juga dengan pemekaran Agam, juga tak ada kepastian dengan hadirnya Kabupaten Agamtuo, nagari-nagari yang masuk ke dalamnya akan menjelma sebagai nagari yang mandiri, kuat, dan masyarakatnya sejahtera.

Tanpa PP 84/1999 dan pemekaran Agam, anak nagari akan tetap seperti itu, karena bukan kedua hal itu yang akan mengubah nagari menjadi maju, tapi kemauan secara tulus anak-anak nagari bersangkutan membangun kampung halamannya. Sumber daya manusia yang cerdas, terlatih, terampil, dan punya jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga lain yang bisa mengembangkan kampung halamannya, untuk satu nagari saja, mereka bertebaran di setiap pelosok negeri ini. Jika mereka rela mengalokasikan waktunya 1 jam dalam sehari untuk kampung halamannya, pastilah nagari di Minangkabau tidak seperti sekarang ini kondisinya: hidup enggan, mati tak mau.***

Sebuah Cerita tentang Wakil Rakyat

Oleh Nasrul Azwar

Teman saya bercerita tentang kurenah salah seorang anggota DPRD yang berasal dari sebuah kabupaten di Sumatra Barat. Nama anggota wakil rakyat ini, sebut saja DR (HC) Sidi Ambin. Dia diuntungkan oleh sistem pemilu. Entah bagaimana logika hitungannya, Sidi Ambin tiba-tiba saja sudah duduk di kursi empuk DPRD dari Partai ESQ, sebut saja dulu demikian. Gelar yang melekat di namanya itu, yang tak boleh lupa menuliskannya, tak jelas riwayat dan sejarah peraihannya. Tiba-tiba saja ada.

Cerita teman saya itu begini. Seperti lembaga lainnya, anggota DPRD tentu memunyai wadah organisasi untuk berkumpul sesama anggota legislatif. Nama wadah itu Asosiasi Anggota DPRD Seluruh Indonesia (AADSI), sebut saja seperti. Hal yang sama juga dilakukan sesama gubernur, bupati, dan walikota se-Indonenesia. Untung saja presiden cuma satu di negeri ini, kalau lebih, tentu akan muncul pula asosiasinya.

Suatu kali, AADSI menggelar pertemuan di Kota Jayapura, Provinsi Tanah Papua. Semua anggota DPRD diharapkan hadir di kota ini. DR (HC) Sidi Ambin jauh-jauh hari telah menyiapkan keberangkatannya. Baginya, ini pertemuan akbar yang maha penting.

Seperti biasa, pihak sekretariat DPRD menyiapkan segala sesuatunya secara makisimal, termasuk tiket yang dipilih executive. Sebanyak 25 orang anggota dewan berangkat berbarengan dalam satu pesawat. Sepanjang hidung ditampuah angok, ini pertama kali DR (HC) Sidi Ambin naik persawat. Kalau bukan anggota legislatif, mungkin ia tak akan pernah naik patatabang.

Dengan kepercayaan diri yang penuh dan sedikit menegakkan kepala (maklum anggota legislatif), bersama rombongan, DR (HC) Sidi Ambin menelusuri koridor Bandar Udara Internasional Minangkabau. Dan terus masuk ke pintu pesawat. Hatinya gembira. Dia pilih kursi dekat jendela. Dihempaskan tubuhnya di kursi itu. Saat bersamaan, seorang pramugari mendekati DR ((HC) Sidi Ambin.

Pramugari itu berkata: “Bapak mesti pindah duduk, Pak. Bapak kan mestinya di executive?”

Langsung saja DR ((HC) Sidi Ambin menghardik, “Tidak! Tidak! Saya bukan executive. Saya legislatif!”

Tidak mengerti maksud penumpang yang satu ini, dengan kebijakannya sendiri, pramugari itu membiarkan saja DR ((HC) Sidi Ambin duduk di kursi yang dipilihnya itu.

DR ((HC) Sidi Ambin pun kembali melihat ke kiri-kanan, dan atas. Tampaknya, ia mengamati semua sudut dan tempat dari kursinya. Sabuk pengaman sudah dikenakan, dan ketika itu pula ia nyaris berteriak ke penumpang di sebelahnya. Dengan bahasa ibunya, DR ((HC) Sidi Ambin bersorak: “Oi sanak, batau juo kecek urang nan alah naik patabang ko yo. Dari ateh patabang ko, yo nampak sagadang samuik urang-urang nan di bawah tu.”

“Patabang ko alun tabang lai, Pak. Masih maagekkan masinnyo. Nan Apak caliak tu, sabana samuik e,” kata penumpang di sebelahnya.

“Oooo!”

Akhirnya, setelah melewati tiga kali transit, rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani Jayapura. Di sini mereka dijemput dan diantar panitia ke tempat pertemuan, di sebuah hotel yang cukup besar.

Setelah beristirahat sejenak, semua tamu dijamu makan malam. Karena anggota legislatif seluruh Indonesia ini berasal dari berbagai agama yang berbeda, tentu panitia menyediakan dan membagi tempat sesuai dengan menu agama masing-masing.

Manconconglah DR ((HC) Sidi Ambin sambil mencingangak di dekat meja panitia. Lalu dengan ramah dan bahasa yang lembut, panitia pun bertanya kepada DR ((HC) Sidi Ambin.

“Maaf Pak, Bapak muslim atau...”?

“Siapa bilang saya muslim. Saya Sidi Ambin. Muslim itu Bupati Padang Pariaman (maksudnya Muslim Kasim),” jawab DR ((HC) Sidi Ambin tegas dan penuh percaya diri.

Tapurangah panitia mendengan jawaban anggota legislatif ini. Dan dia pun membiarkan DR ((HC) Sidi Ambin berlalu entah ke meja mana.

Tiga hari pertemuan itu digelar. Peserta pun kembali ke tempat masing-masing. Banyak juga yang memperpanjang harinya di daerah paling Timur ini. Tapi, rombongan DR (HC) Sidi Ambin langsung pulang sesuai jadwal.

Sesampai di Bandara Cengkareng, DR ((HC) Sidi Ambin tampak tergesa-gesa. Kawan-kawan yang lain heran. Tagageh bana DR ((HC) Sidi Ambin di bandara itu. “Manga tagageh bana, Pak Sidi,” kata salah seorang dari rombongan.

“Oi ngangak bana kalian di Jakarta ko ma! Itu hah, lai tampak dek Apak-apak merek tu: BAGGAGE,” jawab DR ((HC) Sidi Ambin sambil tangannya menunjuk sebuah tulisan yang tergantung di dekat pintu masuk. “Disuruahnyo bagageh awak!”

Semua teman-teman DR ((HC) Sidi Ambin pun tersenyum, tapi DR ((HC) Sidi Ambin tak hirau. Dia tetap bergegas.

***

Anekdot seputar anggota legislatif itu bukan tidak punya latar belakang sosial. Paling tidak, indikasi munculnya bisa saja terkait sikap yang menyebalkan dan juga pandangan yang sinis terhadap tabiat wakil rakyat selama ini.

Buktinya, pada harian Singgalang, Rabu, 24 Oktober 2007, menurunkan 3 berita tentang perangai memuakkan anggota DPRD. Dua berita pada halaman 1 dan satu berita halaman 4. Berita itu intinya berkaitan dengan perempuan. Pada pertengahan Agustus tahun ini, dua orang anggota DPRD ditangkap polisi di sebuah hotel di Bukittinggi. Mereka dituduh menggunakan sabu-sabu dan berbuat mesum.

Selain itu, menjelang Lebaran masyarakat Sumatra Barat juga dibuat bingung: sebagain besar anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 (45) orang sudah dinyatakan bersalah secara hukum dan kasasinya juga ditolak MA, dan sudah memunyai kepastian hukum untuk dijebloskan ke panjara, ternyata bertolak belakang dengan 10 orang anggota lainnya; kasasi mereka diterima MA, dan dinyatakan bebas.

Jika dideretkan dua tahun terakhir, berjuntai-juntai panjangnya perangai anggota DPRD di Sumatra Barat yang membuat masyarakat tidak habis pikir: mengapa hal-hal yang melanggar asas kepatutan, norma-norma itu dilakukan?

Tapi, itulah realitas. Realitas anggota legislatif. Wakil rakyat yang dipilih rakyat. Bukan tak mungkin, bahwa anekdot yang diceritakan teman saya itu, betul-betul terjadi di negeri ini. Jika memang demikianlah kualitas sumber daya dan mentalitas anggota legislatif itu: rata-rata selevel dengan DR ((HC) Sidi Ambin. ***

SUMBER: Harian Singgalang, Rabu, 31 Oktober 2007

Bajulo-julo Membangun Dinding Laut

Oleh Nasrul Azwar

Setelah artikel saya tentang perlunya dinding laut dibangun sebagai salah satu bentuk upaya antisipasi gelombang Tsunami yang didirikan sepanjang pantai Sumatra Barat dimuat di surat kabar ini (Singgalang, 22/10/2007), dan keesokan harinya muncul tulisan Emeraldy Chatra (Padang Ekspres, 23/10/2007), dalam nada yang sama, saya mengirim pesan singkat ke telepon genggam Wali Kota Padang Fauzi Bahar.

Isinya: “Bagaimana pendapat Bapak tentang gagasan membangun dinding laut di sepanjang pantai Sumatra Barat itu, terutama Pantai Padang, yang yang turun di dua surat kabar itu?” Wali Kota menjawab: “Sebagai sebuah wacana atau gagasan, cukup bagus. Dan ini perlu diwacanakan secara luas. Jepang telah membuktikan, dan tembok itu sangat bermanfaat besar bagi masyarakatnya.” Lalu saya balas: “Bagaimana dengan Kota Padang, apakah bisa dirancang pembagunannya? Dan ini saya kira tidak menggaduh benar dengan perencanaan pembangunan kota ini ke depan.” Dijawab: Ya, semua itu akan berpulang pada anggaran. Anggaran sangat terbatas.” Sampai di situ kami “berdiskusi”.

Bagi saya, membangun dinding laut—jika dapat didirikan di semua jalur pantai di wilayah Sumatra Barat—merupakan pilihan yang sangat tepat. Kota Taro dan Pulau Okushiri di Jepang telah melakukan ini. Daerah di Jepang ini terkenal rawan diterjang Tsunami. Maka, bersama masyarakatnya, pemerintah membangun dinding raksasa sepanjang pantainya. Lebar dinding itu 15 meter, tinggi 10 meter.

Kahadiran dinding itu menghadirkan kenyamanan bagi penduduknya beraktivitas. Walau terkesan kota itu terkurung, tapi saat gempa yang berpotensi Tsunami datang, mereka tidak lagi terfokus memikirkan air laut bergulung yang akan melindas isi kota, tapi penyelamatan dari bencana gempa belaka.

Menyangkut dana pembagunannya, seperti yang dikeluhkan Fauzi Bahar, yang memang akan menelan dana besar, saya kira untuk sementara dipinggirkan dulu. Yang utama adalah prinsip. Apakah secara prinsip pemerintah bersama dengan wakil rakyat setuju membangun tembok atau dinding laut itu? Jika secara prinsip setuju, baru kita bicara pola dan strategi penggalangan dana untuk membangun dinding laut itu. Saya andaikan saja pemerintah setuju secara prinsip. Masyarakat? Pasti mendukung gagasan ini sebab menyangkut keselamatan jiwa.

Pola dan strategi pengumpulan dana pembagunan itu saya sebut saja gaya julo-julo dan pastisipasi masyarakat secara total. Di luar itu gaya julo-julo ini, pemerintah, tentu saja tetap mengupayakan proyek pembangunan ini mendapat dana dari mana saja, dan secara berkesinambungan mengalokasikannya di APBD, termasuk kabupaten dan kota yang dilewati pembangunan tembok itu.

Dengan difasilitasi pemerintah, bersama masyarakat dibentuk tim yang efektif atau bisa juga memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti BAZIS, menggalang dan mengumpulkan dana dari masyarakat sebesar Rp 5.000/bulan setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Sumatra Barat dan orang awak yang ada luar Sumatra Barat. Dana yang terkumpul inilah sebagai “modal” untuk membangun dinding itu. Soal teknis dan mekanismen pengumpulan dana bisa diatur dalam pola kerja yang terkoordinatif dan terkontrol. Semua kerja dilakukan sangat transparans.

Jika penduduk Sumatra Barat berjumlah 4,5 juta jiwa dengan pukul rata saja jumlah itu sama dengan jumlah 1.500.000 KK (data sebenarnya saya kurang tahu), maka jumlah uang yang terkumpul setiap bulan adalah Rp 7.500.000.000 X 12 bulan = Rp 90.000.000.000 setahun. Jumlah 90 milyar rupiah ini angka yang pasti. Jika berhasil pula meyakinkan orang Minang diperantauan, dengan perkiraan jumlahnya sama dengan penduduk yang ada di Sumatra Barat, maka dalam setahun berjalan terkumpul dana Rp 180 milyar.

Hitungan ini hanya berdasarkan jumlah kepala keluarga yang bisa dihimpun potensi dananya. Dan saya kira, menyumbang demi sebuah tujuan yang sangat baik bagi kemaslahatan orang banyak dan jelas penggunaannya, bagi masyarakat tak akan berat. Sejarah sudah mencatat bagaimana masyarakat di Minang ini beriyuran bersama-sama untuk membeli pesawat yang memang saat kemerdekaan dulu sangat dibutuhkan. Tak ada panitia dan macam-macamnya, tapi masyarakat dengan tulus memberikan sebagiah hartanya, dan tak ada uang emas pun jadi. Pesawat terbeli, masyarakat pun bangga.

Kembali ke dinding tembok tadi. Jika potensi kedermawanan masyarakat itu digali lagi, tentu akan terhimpun kekuatan yang besar. Pembangunannya pun bisa menyertakan masyarakat. Jika bisa diyakinkan dengan alasan yang masuk akal, saya kira masyarakat juga bersedia memberikan tenaganya untuk membangun tembok itu. Bagi mereka, yang penting berjelas-jelas. Jangan lukai hatinya dengan hal-hal yang mereka nilai sebagai pembohongan. Mekanisme penyertaan masyarakat untuk terlibat menyumbangkan tenaganya, bisa diatur kemudian dengan baik.

Pembangunan jelas dilakukan secara bertahap. Tahapannya bisa saja diprioritaskan terlebih dahulu di daerah pantai yang sangat padat penduduknya, dan seterusnya.

Maka, dengan menyertakan masyarakat dalam pembangunan dinding laut itu, apa yang menjadi problem menyangkut dana yang dicemaskan Wali Kota Padang, sedikit sudah terjawab. Dana yang terkumpul Rp 180 milyar dalam setahun, merupakan modal sosial yang sangat besar sekali dampaknya. Jika publik telah merasa memiliki dinding itu, persoalan dana bukan lagi masalah yang rumit. Yang rumit itu adalah mengelola, menata, dan meyakinkan masyarakat. Jelas hal ini dituntut kerja keras dan berkesinambungan dari pihak pemerintah. Meyakinkan masyarakat saat sekarang bukan perkara enteng, karena selama ini mereka banyak dikecewakan. Tapi hal itu tidak akan menutup rapat hati mereka untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun.

Kini, berpulang ke pemerintah, bagaimana membaca hati masyarakat. ***

Institusi Seni-Budaya dan HKI

Oleh Nasrul Azwar

Dalam banyak hal, pemerintah Indonesia memang selalu telat bertindak apalagi berpikir. Salah satu buktinya adalah ribut-ribut tentang pembajakan lagu “Rasa Sayange” yang berasal dari Maluku, oleh Pemerintah Malaysia untuk promosi wisatanya, dan lagu dari ranah Minang, “Indang Sungai Garinggiang” yang digunakan tanpa ada penjelasan dalam sebuah iven budaya Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang ( Singgalang , 27/10/2007).

Sekait dengan itu, barulah pemerintah merespons. Menko Polhukam Widodo A.S. pada akhir pekan Oktober lalu, mengadakan Rapat Koordinasi Tim Nasional Kekayaan Intelektual yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Mendagri Mardiyanto, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri ( Jawa Pos , 25/10/2007).

Hasil rapat itu sepakat membentuk tim nasional kekayaan intelektual. Walau terlambat, karena sebelum ini, sudah banyak pula negara lain yang mengklaim kekayaan bangsa Indonesia sebagai miliknya, tindakan pemerintah dinilai cukup bagus. Biarlah telat daripada tidak bertindak sama sekali.

Dalam rapat itu disepakati, pemerintah segera mendata atau menginventaris seluruh karya bangsa agar tidak diklaim atau dibajak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, pemerintah akan mendata ulang seluruh lagu, makanan khas daerah, kesenian, dan cerita-cerita rakyat. Selama ini, banyak karya yang menjadi milik bangsa dan tidak dikenal penciptanya (anonim) sehingga rawan terhadap klaim atau pembajakan dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Andi menyatakan telah meminta bantuan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik untuk mempercepat pendataan. "Nanti, di Depkum HAM, prosesnya akan dipermudah juga supaya tidak ada yang menilai pemerintah justru menghambat," katanya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik mengharapkan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual. "Kami himbau kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia agar rajin-rajin mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual," kata Menbudpar, Ir Jero Wacik di Nusa Dua, Bali ( Jawa Pos , 18/10/2007).

Bagaimana di Sumatra Barat? Sejauh ini, reaksi dari pejabat di daerah ini belum terdengar. Entah belum tahu, entah tidak menyimak perkembangan informasi. Tak ada respons menyangkut “Indang Sungai Garinggiang”, karya anak nagarinya, yang kini dibajak negeri jiran itu, misalnya, oleh Gubernur Sumatra Barat atau paling tidak dari Dinas Parsenibud Sumbar. Tampaknya, sikap pejabat di Sumatra Barat ini bertolak belakang dengan motto PT Semen Padang: kami telah berbuat sebelum orang lain memikirkannya.

Reaksi kecil memang muncul dari beberapa budayawan Sumatra Barat menyangkut pembajakan lagu yang dipopulerkan seniman Tiar Ramon itu ( Singgalang , 31/10/2007). Namun, reaksi itu masih sebatas tataran wacana, belum menyentuh substansi persoalan yang sesungguhnya.

Persoalan sebenarnya adalah bagaimana langkah dan strategi yang mesti dilakukan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan seni itu sendiri, misalnya, UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Museum Negeri Adityawarman Provinsi Sumatra Barat, Balai Bahasa Padang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Sumatra Barat, Dekranasda, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), dan lain sebagainya.

Institusi-institusi itu, terutama Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB adalah lembaga yang sangat bertanggung jawab terhadap perlindungan dan hak cipta seniman, baik kontemporer dan maupun tradisi. Lembaga ini semestinya memprakarsai agar-agar karya-karya seniman itu terdaftar secara hukum. Untuk kasus lagu, “Indang Sungai Garinggiang”, misalnya, seharusnya lembaga ini tidak menunggu wartawan mewawancarai baru membuat peryataan.

Sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana teknis seni dan budaya, yang bukan semata hanya menampilkan karya seniman belaka, tentu Taman Budaya Sumatra Barat bertanggung jawab juga mengadvokasi karya-karya seniman daerah ini jika muncul perkara seperti pembajakan lagu itu. Tapi hal ini tidak dilakukan lembaga ini.

Sama halnya dengan DKSB, seharusnya lembaga seni semi pemerintah ini juga melakukan hal yang sama dengan Taman Budaya Sumatra Barat. DKSB mestinya memberikan tanggapan resmi dan memberikan advokasi. Paling tidak memunculkan secara resmi tanggapan dan pandangan yang jelas ke publik. Ternyata idem ditto.

Karya seni anak nagari Minang memang rentan dan rawan untuk dibajak, terutama oleh negara-negara yang punya hubungan historis dan kultural yang erat dengan Minangkabau: Malaysia salah satu saja.

Sejarah sudah mencatat, setiap nagari di Minangkabau punya kekayaan seni dan tradisinya. Dan jumlahnya sangat banyak dan beragam. Kekuatan nagari adalah dipermainan anak nagari itu. Permainan itu banyak terkait dengan seni: ada lagu, pantun, kaba, cerita rakyat, masakan khas, tari tradisi, alat musik, pidato adat, seni pertunjukan (peran), seni lukis, motif, kaligrafi, ukir, kerajinan tangan, arsitektur, tumbuhan, dan lain sebagainya yang jumlahnya banyak dengan berbagai variasi dan versi. Belum lagi karya seniman kontemporer, tentu, akan berderet-deret panjangnya.

Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab untuk mendaftarkan ke instansi terkait agar karya itu terproteksi secara hukum? Jawaban tentu saja Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB. Karena lembaga ini tidak bisa dilepaskan dengan dunia seni dan budaya. Menyangkut soal teknis pendaftaran karya-karya, itu soal lain.

Namun demikian, karena sebagian besar masyarakat seni dan lembaga seni masih belum memahami benar prosedur dan mekanisme pendaftaran hak cipta itu, maka upaya yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengundang Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan penjelasan, prosedur, mekanisme, dan lain-lainnya menyangkut hak kekayaan intelektual (HKI) itu. Dan diharapkan program ini melibatkan semau pihak yang terkait dengan masalah ini. Program itu bisa berbentuk seminar sehari, lokakarya, dan lain sebagainya.

Taman Budaya dan DKSB dapat bersinergi melakukan ini. Dan soal “sinergian”, bagi kedua lembaga ini bukan soal besar. Karena sudah sering dilakukan, walau sembunyi-sembunyi. Maka, untuk itu, program ini dipandang sangat mendesak untuk dilakukan. Jika tidak sekarang, ya besoklah. Tapi jangan seperti kalimat awal di atas: lamban berindak telat berpikir. Semua ini dilakukan mengingat sudah berangsur-angsur kekayaan seni dan budaya kita dialih orang lain. Kalau bukan kita yang memikirkan, siapa lagi? Seniman. Oh biarkan saja mereka berkarya. Tak ada waktu bagi mereka mengurus yang macam begini. Bagaimana, Bung?***

SUMBER: http://www.hariansinggalang.co.id/komentar.html

Harian Singgalang, Selasa, 6 November 2007 (Rubrik Komentar)


Sastra Minangkabau Modern: Antara Ada dan Tiada

OLEH Suryadi
Istilah “Sastra Minangkabau Modern” muncul dalam SMS yang saya terima dari Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Dra. Adriyetti Amir, SU, yang memberitahukan bahwa kiriman off-print artikel saya, “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau” (Indonesia and the Malay World 34:100, 2006: 315-44) telah beliau terima. “Saya minta Suryadi juga menulis sesuatu tentang Sastra Minang Modern. Itu diperlukan untuk bahan pelajaran di Jurusan Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra UNAND,” kata Dra. Adriyetti Amir, SU dalam SMS-nya kepada saya.