KODE-4

Sunday, February 15, 2009

Koreografer Muda Sumatra Barat: Berkarya Tanpa Panutan

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang sedang belajar di Universiti Malaya
Pada masyarakat tradisional Minangkabau, kata tari diartikan sebagai laku olah gerak dan rasa. Masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan kata pamenan. Ianya memiliki akar gerak kepada ilmu beladiri pancak (Indra Utama, 2001:71-80; Edi Sedyawati, 1998:72; Sal Murgiyanto, 1991:276; O’ong Maryono, 1998:9; Mohd. Anis Md Nor, 1986:26).

Kedua-duanya, yaitu pamenan dan pancak, terbina sebagai materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau pada surau-surau yang ada di berbagai pelosok daerah budaya Minangkabau. Materi ajar ini diajarkan sejalan dengan materi ajar lainnya, seperti pengajaran agama Islam, pengajaran pengetahuan adat istiadat, dan pengajaran praktis lainnya yang berkait dengan etika dan estetika. Semua bentuk pengajaran itu bertujuan untuk membentuk manusia Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai orang Minangkabau.
Pancak, sebagai antara materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau, prinsip gerakannya diyakini merujuk kepada tulisan Arab kuno seperti yang ditemukan dalam Al-Qur’an, yaitu tagak (berdiri) Alif ( ), pitunggue (kuda-kuda) Dal ( ), dan langkah Mim ( ) (Bart Barendregt dalam Wim van Zanten. 1995:114).
Secara mujarad, perlambangan tiga gerakan pancak di atas, menyatakan bahwa setiap awal melangkah, bagi apapun pekerjaan di dunia ini, adalah sama seperti permulaan Alif sebagai penghulu abjad. Mujarad Alif itu adalah tunggal atau satu sepertimana ketuhanan itu adalah tawhid (Faruqi. 1992:173; Mohd. Anis. 2000:93). Selanjutnya, tagak Alif diteruskan dengan bentuk pitunggue yang disebut pitunggue Dal. Pitunggue Dal dilakukan agar posisi tagak mendapat tumpuannya yang kuat. Kemudian barulah dapat dilanjutkan dengan melangkah yang disebut dengan langkah Mim. Langkah Mim baru boleh dilakukan setelah pitunggue Dal berada dalam posisinya yang kuat. Sepertinya perlambangan itu memberikan makna sebuah tahapan yang terstruktur dalam mengikut jalan Allah, nabi Adam dan kerasulan Muhammad di dalam pancak.
Pemahaman ketiga asas gerakan pancak di atas, menuju kepada prinsip ke-Esa-an dan sifat transenden Allah ketika gerakan pancak dimainkan, sama halnya bagi kepentingan bersilat (bertarung) dalam rangka membela diri maupun bagi melakukan pancak itu sendiri sebagai permainan. Itulah sebabnya, bagi umumnya pandeka di Minangkabau, pancak tidak digunakan sebagai sarana menghabisi lawan dalam sebuah pertarungan, tapi lebih sebagai sarana beladiri dan memberikan ”pelajaran” kepada lawan. Ianya mesti dilakukan dengan kontrol diri yang kuat dan dibimbing sesuai ajaran Islam. Hal demikian menunjukkan ciri-ciri estetik yang direka bagi menghasilkan gambaran infiniti dan transenden yang dituntut oleh doktrin tauhid Al-Qur’an sebagai perkara yang abstrak dan mujarad (Faruqi. 1992:173-175).
Bagi para murid komunitas surau, ketiga asas ini haruslah dipahami, dimengerti, dan diamalkan, sebagai sebuah keharusan dalam belajar dan memainkan pancak. Melalui cara ini gerakan-gerakan pancak (silat) menjadi simbol penting untuk diingat agar mudah dipahami dalam melaksanakannya.
Pemahaman pancak dalam kaitannya dengan tulisan Arab kuno di atas, terkait bilamana rujukan diarahkan kepada hubungan antara mikrokosmos, masyarakat, dan makrokosmos dalam diskusi tentang keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (MID. Jamal. 1986:53), di mana dalam pemahaman demikian, manusia tidak akan berarti apa-apa kecuali semata atas pertolongan Allah.
Bagi masyarakat tradisi Minangkabau, posisi gerakan pamenan (tari tradisi) adalah merujuk kepada asasnya yang ada pada pancak. Itulah sebabnya antara gerakan tari tradisi Minangkabau dengan pancak terlihat seperti dua saudara kandung yang sedarah. Melakukan pamenan (tari tradisi) yang berasaskan pancak di atas, selalunya mengikut kepada struktur yang diatur sesuai prinsip ke-Esa-an dan sifat transenden Allah sepertimana yang dipahami dalam pancak.
Hoerijah Adam (1934-1971) dan Gusmiati Suid (1942-2001), dalam perjalanan kreatifnya, sangat sadar bahwa performativiti Minangkabau dalam tari, terletak pada penguasaan pamenan yang berasaskan pancak. Kedua koreografer legendaris itu sangat menekankan, bahwa penguasaan bentuk-bentuk tari tradisi sebagai vokabuler karya baru, semestinya diikuti dengan penguasaan pancak. Bahkan bagi Gusmiati Suid, pancak tidak hanya harus dilakukan secara teknikal, tetapi juga dipahami dalam konteks filosofinya. Oleh karenanya, penelitian demi penelitian terhadap bentuk-bentuk tari tradisi Minangkabau dan pancak terus mereka lakukan, dan penguasaan kedua produk budaya ini menjadi materi yang tidak bisa ditawar lagi. Ianya harus dikuasai dan mesti dapat dilakukan dengan baik sebagaimana ianya tumbuh di tempat asalnya.
Dalam karya-karyanya, Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid selalu menggunakan vokabuler pamenan (tari tradisi) yang berasaskan pancak yang kuat. Akibatnya, karya-karya mereka dapat menjadi wacana (discourse) tersendiri sebagai reaksi daripada performativiti budaya Minangkabau yang terekspresikan dalam gerakan tariannya. Hal demikian sejalan dengan pembinaan (construction) terhadap realitas sosial masyarakat pendukungnya di mana ianya ikut mempengaruhi kualitas seni pertunjukan itu (Richard Schechner. 2002:110).
Karya-karya mereka disebut sebagai hal yang memiliki paduan dari sebuah kecermatan, teknik, dan semangat yang menyala sebagai sebuah esensi kehidupan orang Minangkabau. Ianya memiliki suasana yang tegar dan liris, dengan elemen tradisional dan kontemporer yang cermat dan membangkitkan fantasi (Sal Murgiyanto. 2000:77).
Bagi Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid, pancak dan pamenan jelas menjadi panutan utamanya. Capaian perjalanan kreatif mereka telah menghasilkan sebuah sebutan khas. Hoerijah Adam disebut sebagai peneguh tari Minangkabau (Redefining Minangkabau Dance) (Sal Murgiyanto. 2000:78), sedangkan Gusmiati Suid, dalam sebuah media nasional, disebut sebagai koreografer yang berpikir lokal bertindak global.
Halnya koreografer muda Sumatera Barat saat ini, umumnya lahir dari lembaga pendidikan seni, atau lahir dari kelompok-kelompok tari yang terdapat di Kota Padang. Untuk koreografer yang lahir dari lembaga pendidikan seni, mereka dibekali ilmu komposisi tari dan koreografi.
Umumnya bentuk praktek daripada kedua ilmu ini adalah menggunakan teknik-teknik komposisi tari yang datang dari Barat. Bahan bacaannya pun berasal dari Barat, seperti buku karangan Gay Cheney berjudul Basic Concepts In Modern Dance, atau buku karangan Joice Mackie berjudul Basic Ballet, The Steps Defined, atau buku karangan Lois Ellfeldt berjudul A Primer for Choreographers, atau buku karangan Sandra Cerny Minton berjudul Choreography, A Basic Approach Using Improvisation. Selain itu, bentuk-bentuk prakteknya pun dituntun dengan tayangan visual berupa video, VCD, dan DVD yang berasal dari teknik tari modern yang berkembang di Amerika.
Adapun koreografer yang berasal dari kelompok-kelompok tari, lebih berbekalkan kepada pengalaman seniornya dalam membuat karya tari. Karya-karya itu cenderung terlihat sebagai pengulangan dari proses kreatif anggota kelompok sebelumnya, tentunya dengan beberapa perubahan dari segi bentuk gerak, kostum, ataupun elemen-elemen lainnya.
Karya-karya kreatif yang muncul daripada para koreografer muda saat ini  cenderung memperlihatkan sesuatu yang beda, atau ingin dianggap beda daripada karya koreografer terdahulu. Perbedaan itu lebih menjurus kepada bentuk fisik melalui proses adaptasi teknik-teknik moderen. Namun sayangnya, hal demikian tidak diikuti dengan penguasaan teknik yang benar, karena memang ianya tidak dipelajari sesuai kaidahnya yang benar pula.
Jelas, koreografer muda Sumatera Barat seperti kehilangan panutan. Akibatnya karya yang lahir pun tidak terarah. Mereka seperti sedang berada pada dua dunia, di mana masing-masingnya tidak total dilakoni. Satu sisi, dunia tradisi seperti hendak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan jamannya, tetapi di sisi lain, dunia moderen yang ingin digeluti, belum pula jelas bentuknya. Koreografer muda Sumatera Barat saat ini, berkarya tanpa panutan. Mereka liminal.*
Bukittinggi, 30 April 2008


No comments:

Post a Comment