KODE-4

Showing posts with label ESAI-ESAI SURYADI. Show all posts
Showing posts with label ESAI-ESAI SURYADI. Show all posts

Sunday, January 6, 2008

Dari "Selompret Malajoe" Sampai "Slompret Melayoe"

OLEH SURYADI


Benarkah Selompret Melajoe Terbit Perdana 1860? demikian judul tulisan Saifur Rohman, kandidat doktor ilmu filsafat UGM, di harian ini September lalu. Artikel itu menanggapi pernyataan Dr Dewi Yulianti, pakar sejarah pers Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, yang mengatakan bahwa Selompret Melajoe terbit tahun 1860. Hal itu dikemukakannya dalam sarasehan "Melacak Jejak Pers Jawa Tengah" yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah.

Tuesday, November 6, 2007

Sastra Minangkabau Modern: Antara Ada dan Tiada

OLEH Suryadi
Istilah “Sastra Minangkabau Modern” muncul dalam SMS yang saya terima dari Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Dra. Adriyetti Amir, SU, yang memberitahukan bahwa kiriman off-print artikel saya, “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau” (Indonesia and the Malay World 34:100, 2006: 315-44) telah beliau terima. “Saya minta Suryadi juga menulis sesuatu tentang Sastra Minang Modern. Itu diperlukan untuk bahan pelajaran di Jurusan Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra UNAND,” kata Dra. Adriyetti Amir, SU dalam SMS-nya kepada saya.

Sunday, October 28, 2007

STEMPEL DATUAK KATUMANGGUNGAN DAN DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG

OLEH Suryadi
Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.

Sunday, October 21, 2007

Giliran Sejarah Perang Paderi yang Hendak Direvisi?

Oleh Suryadi

Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837). Laporan itu dipicu oleh dipublikasikannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) (pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta, [1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007).

Wednesday, October 10, 2007

Hari (Jadi) Pers Nasional: Meremehkan Peran Surat Kabar Lain


OLEH SURYADI, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Aziƫ en Oceaniƫ, Universiteit Leiden, Belanda
Tulisan Nasrul Azwar di kolom ini (‘Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu”, Padang Ekspres online, 17-12-2007: Teras Utama) menarik perhatian kita karena beberapa kritik yang dilontarkannya, yang selama ini tidak pernah mendapat perhatian kalangan peneliti dan masyarakat pada umumnya. Nasrul menanggapi pernyataan Taufik Rahzen di harian Jurnal Nasional bahwa tahun 2007 ini adalah peringatan seabad usia pers nasional. Perhitungan itu didasarkan atas terbitnya surat kabar Medan Prijaji di Bandung pada bulan Januari 1907, yang dieditori oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.