KODE-4

Showing posts with label NEWS. Show all posts
Showing posts with label NEWS. Show all posts

Monday, April 14, 2014

Cinta Produk Kreatif Indonesia, Kebanggaan Bangsa

Produk Indonesia kian dicintai dan digemari oleh masyarakat Indonesia, salah satu daya tariknya adalah harganya yang terjangkau dengan kualitas bersaing. Hal ini berlaku sebaliknya dibandingkan keadaan sekitar lima tahun lalu, dimana masyarakat lokal lebih menyukai menggunakan produk  dengan brand import, tentunya dengan harga mahal. Keberhasilan produk Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri ini merupakan buah keberhasilan program Kenali Negerimu, Cintaimu Negerimu, yang salah satunya digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Selanjutnya, gerakan tersebut menjadi salah satu gaya hidup bagi masyarakat, sehingga mereka lebih bangga menggunakan produk lokal.

KUNJUNGAN WISATAWAN MENINGKAT: Persepsi Internasional Terhadap Indonesia Membaik

Berdasarkan hasil sejumlah survei lembaga internasional, persepsi terhadap Indonesia juga mengalami perkembangan positif. Lembaga rating internasional terkemuka seperti Ficth Rating, Rating and Investment Information. Inc, Japan Credit Rating Agency, Standard and Poor’s (S&P), Modys Investor Servise telah menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi jangka panjang (investment grade).
Fitch Ratings mengumumkan pada bulan November 2013, memperkuat peringkat Indonesia menjadi BBB-  dengan outlook stabil. Sebelumnya, Oktober 2013 lembaga Rating and Investment Information Inc. juga memberikan penilaian BBB-/ stable outlook. Begitu juga dengan Japan Credit Rating Agency Ltd. pada Juli 2013 memberikan peringkat BBB- with stable outlook untuk Indonesia.

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: Picu Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan di Atas 10 Persen

ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku efektif di akhir tahun 2015 berpotensi untuk mendorong pertumbuhan jumlah wisatawan ke Indonesia yang kini masih sekitar 9% per tahun menjadi di atas 10%.
“Dengan  diberlakukannya MEA, akan terjadi peningkatan pergerakan manusia di wilayah ASEAN, yang berarti bahwa jumlah wisatawan ke Indonesia dari negara-negara ASEAN akan meningkat juga.  Apalagi dengan adanya rencana pemberlakuan Common Visa untuk ASEAN, akan sangat memudahkan warga asing dari luar ASEAN masuk ke Indonesia, termasuk melalui hub-hub lain seperti Singapura atau Bangkok, maka kita optimistis bahwa akan terjadi akselerasi pariwisata Indonesia”, kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Pangestu dalam acara Public Seminar and Soft Launching “The ASEAN Economic Community: A Work in Progress”, pada Selasa (18/3/2014) di Jakarta.

Friday, August 8, 2008

Wawancara Eksklusif dengan Emha Ainun Nadjib

Bangsa Indonesia Butuh Intervensi Tuhan
Pengantar

“Penyakit” bangsa Indonesia sudah masuk tahap stadium paling parah. Komplikasi. Termasuk dalam jajaran kekuasaan. Penyakit itulah yang menggerus nilai-nilai kejujuran. Sehingga rakyat Indonesia semakin sulit berlaku jujur, sulit menanamkan keikhlasan. Malah, yang paling mudah berkembang biak itu adalah fitnah. “Bangsa kita sedang sakit parah. Komplikasi. Untuk mengobatinya, kita butuh intervensi Tuhan,” kata Can Nun.
Secara jujur dan terbuka, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, membentangkan semua aspek yang menelikung penyakit bangsa ini, termasuk mentalitas pemimpinnya. Tanggal 2 Agustus, pekan lalu, Cak Nun bersama Komunitas Musik Kiai Kanjeng melakukan pertunjukan musik dalam rangka ulang tahun PT Timah yang ke 32 di kampus Polman UBB, Sungailiat. Di sela-sela istirahatnya, Endang Kurniawan melakukan wawancara eksklusif dengan Cak Nun. Berikut petikannya.

Setelah reformasi 1998, tampaknya Anda menghindar dari panggung hiruk pikuk politik, dan terkesan Anda kecewa dengan kondisi itu?
Ya, saya kan umurnya terbatas. Saat reformasi bergulir, saya berada di pusaran reformasi itu. Fakta-fakta mengenai reformasi, menurut saya, juga tidak terungkap kepada masyarakat secara substansial. Selanjutnya, bangsa kita tidak cukup jujur dalam memahami reformasi. Bukan bahasanya tidak jujur, tapi tidak diberikan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi pada 1998 itu. Saya tidak mempunyai media dan media juga kurang berminat untuk mengali sunguh-sungguh sejarah reformasi itu. Jadi, saya melihat, sisa usia saya tidak mungkin cukup untuk melakukan rekaveri seperti itu. Jadi, ya saya sekarang menikmati hidup saya. Kalau Indonesia monggolah (silahkan saja) begitu.
Bagaimana komentar Anda dengan kondisi Indonesia yang masih terkungkung dari deraan krisis multidimensi ini?
Saya kira, kita sungguh-sungguh berada di dalam satu cengkraman global desain yang tidak ada satu pihak pun dari pelaku-pelaku sejarah Indonesia yang merasa punya kepentingan atau apalagi militansi untuk memahami itu. Sehingga, mereka hanya menjadi pemain-pemain kelas dua dan kelas tiga yang tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang mereka mainkan. Kita ini hanya mencari keuntungan-keuntungan lokal di sekitar kegiatan kita masing-masing. Begitu lho. Jadi Indonesia ini tidak memahami dirinya dan tidak tahu di mana dirinya berada. Dunia sedang berkembang ke mana? Polarisasi yang terjadi itu apa? Perang dingin yang terjadi itu apa? Semua itu tidak dipahami benar, dan tidak ada kelompok yang sungguh-sungguh memahami itu karena tidak berkepentinggan. Yang penting dapat untung dan selesai.
Sebetulnya, apa sih yang salah dari negeri ini, pemimpinnya atau rakyatnya?
Dulu pemimpinnya, tetapi sekarang sudah berbareng rakyatnya juga salah. Rakyat juga sekarang ini sudah tidak sanggup lagi untuk jujur terus. Sudah tidak sanggup untuk tidak ikut rakus, untuk tidak ikut semua penyakit-penyakit jiwa yang selama ini ada, ya sudah tidak sanggup. Kecuali orang-orang yang hidup di dalam satuan-satuan institusi ekonomi yang tidak terlalu terganggu. Tetapi kalau rakyat umum dalam arti sipil, ya, setengah mati untuk mempertahankan kejujuran, mempertahankan ketidakcurangannya, tidak nyerobot, untuk tidak ikut maling.
Apa jalan keluar yang paling baik yang harus dilakukan pemimpin bangsa ini?
Tidak ada, kecuali intervensi Tuhan. Sudah tidak mungkin diselamatkan. Hanya intervensi Tuhan yang diperlukan. Kalau Tuhan tidak intervensi, ya kita tinggal taruhan mengenai berapa lama hancurnya bangsa ini. Tapi bangsa kita ini adalah bangsa yang tangguh, yang hancurnya pelan-pelan. Lho itu betul.
Siapa yang semestinya bertanggung jawab atas kehancuran bangsa ini? Budayawan seperti Cak Nun kah, atau pemimpin yang berkuasa sekarang?
Yang pasti saya tidak bertanggung jawab atas semua itu. Saya tidak diberi tangung jawab kok. Saya orang biasa. Saya tidak dibayar oleh siapa-siapa. Jadi saya tidak mempunyai kewajiban apapun. Ya silahkan harus bagaimana, cuma saya harus menyelamatkan masa depan anak-anak saya. Mereka harus saya siapkan. Harus menjadi orang yang siap hidup di tengah situasi yang sudah bisa kita hitung sejak sekarang.
Anak-anak di sini dalam konteks Cak Nun atau anak-anak bangsa?
Ya anak-anak saya sendiri dong dan anak-anak dari komunitas saya. Lah kalau anak bangsa bagaimana seluas ini. Orang Indonesia itu ditolong belum tentu berterima kasih. Ditolong malah memfitnah. Contoh coba Anda memberi makan pengemis setiap pagi selama 3 bulan saja, setiap pagi diberi 1 bungkus makanan saja. Nanti pas bulan ke 3 Anda tidak memberi selama 2 hari saja, Anda difitnah macam-macam. Gara-gara 2 hari tidak memberi makan kepada pengemis tadi, malah bukan berterimakasih selama ini sudah diberi makan. Dan semua itu betul-betul sudah saya alami. Jadi sekarang, saya tidak berani menolong rakyat. Demi Allah, saya tidak berani menolong rakyat. Rakyat malah balik memfitnah, ngomong yang tidak-tidak. Naudzubilahminzalik, saya tidak berani menolong rakyat.
Apakah anak-anak Cak Nun, tidak ada yang tertarik mengikuti langkah orangtuanya?
Jangan ada yang menerusin saya, sengsara nanti. Jangan. Anak saya jangan nerusin saya. Anak saya punya sejarah sendiri dan harus berdasarkan prosesnya sendiri. Jangan sampai hidup seperti saya, sengsara. Jadi menteri tidak, mesti jadi presiden tidak. Punya mobil difitnah. Sengsaralah pokoknya.
Padahal bangsa ini sangat membutuhkan orang seperti Cak Nun?
Begini lho orang Indonesia itu, dia melarang saya bertanam padi, tapi kalau dia tidak bisa makan, dia minta nasi kepada saya. Tapi saya tidak boleh menanam padi..ha...ha...ha. Orang Indonesia itu tidak ada yang ikhlas. Dan itu normal kalau orang Indonesia itu tidak ikhlas. Karena selama mereka merdeka tidak pernah terpenuhi hak-hak dasarnya. Jadi kita didik jadi orang yang tidak ikhlas.
Apakah Cak Nun merasa bangga menjadi warga negara Indonesia?
Bangga saya. Oh bangga sekali. Tapi Indonesia dalam pemahaman yang tadi saya omongkan. Bangsa yang besar. Bangsa yang tangguh. Mentalnya luar biasa dan saking hebatnya, binggung mau ngapain.
Korupsi salah satu penyebab hancurnya negeri ini. Tapi kini, korupsi kian menjadi, malah terkesan tidak tuntas ditindak. Selain itu, haruskah diterapkan hukuman mati bagi pelaku koruptif?
Korupsi itu output buka input. Dan Anda tidak bisa membenahi dari moral. Korupsi itu soal mental. Kalau moral sudah tahu semua baik-baik saja kan. Koruptor itu kan sopan. Mereka baik kepada tetangganya, baik kepada anak istrinya. Jadi takmir masjid juga sering memberi uang buat masjid. Jadi secara moral, mereka baik-baik saja, tetapi mentalnya yang kurang ditata.
Menurut Cak Nun sendiri moral dari pemimpin kita ini bagaimana?
Mereka baik-baik. SBY baik. Megawati baik. Masalahnya bukan moral, tetapi mentalnya dan ilmu. Mesti intelektual. Jadi kayak SBY, dia tidak konekting antara A dan B di dalam otaknya. Bagaimana bisa konek, mahasiswa sampai masuk rumah sakit karena digebukin oleh polisi. Lah dia kok malah asik bersepeda ria. Itukan tidak konek otaknya. Mestinyakan dia malu kok sempat-sempatnya bersepeda ria. Rakyatnya pada tidak beres, sengsara. Dia kok senang-senang seperti itu. Itu bukan berarti dia orang jelek tetapi ilmunya yang tidak konek.
Bangsa ini terkesan bebal, apakah Anda setuju dengan sebutan itu?
Bangsa kita tidak bebal. Bangsa kita itu tidak mempunyai landasan untuk tidak bebal. Sekarang antre di mana-mana saja orang nyerobot. Kok saya disuruh antre, begitu lho.
Kini, tampaknya, politik dagang sapi dengan menghalkan segala cara masih menguat. Apakah ini terkait dengan mentalitas politisi?
Inikan sepertinya penyakit yang komplikasi. Jadi kalau sudah sakit kayak efek domino, semakin menjalar, tidak bisa potong satu. Jadi kalau mau menjadi politisi jujur itu kita bisa masuk penjara. Kalau peraturannya berubah, Anda bisa salah, seperti perumpamaan main pimpong, dulu gamenya 21. Sekarang pimpong gamenya 15. Kan salah semua yang 21 dulu.
Ini terkait dengan dunia sastra: Apakah komentar Cak Nun dengan dunia sastra Indonesia saat ini?
Sebaiknya saya tidak usah menilai karya orang lain. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa saya sekarang terseret untuk kembali ke situ. Jadi sebentar lagi saya siap menerbitkan kumpulan puisi-puisi saya yang baru.
Adanya kesan bahwa dunia sastra cenderung vulgar dan mengumbar syahwat, dan itu dipelopori oleh penulis dari kalangan perempuan, apa komentar Anda?
Ya orang dengan perhatiannya sendiri-sendiri. Ada yang memperhatikan Tuhan. Ada yang memperhatikan seks. Ada yang meperhatikan macam-macam, ya silahkan saja. Saya tidak mau berdebat di situ. Itu namanya dunia tafsir. Itu namanya demokrasi.
Apa yang paling mengesankan bagi Anda tentang Bangka Belitung?
Ini adalah kunjungan saya yang pertama ke Bangka Belitung. Saya kalau masuk di suatu daerah itu sangat senang dan merasa mempunyai harapan cukup besar untuk Indonesia Mumpung Bangka Belitung ini belum jadi Jakarta. Belum jadi Pulau Jawa. Tolong dijaga. Kalau sudah menjadi Pulau Jawa, kacau jadinya. Jawa itukan berkembang tanpa desain. Berkembang tanpa transformasi tertata, tidak substansial langkah-langkahnya. Potensi-potensi yang ada di Jawa sudah tidak ada. Yang susahnya, orang luar Jawa berlomba-lomba datang ke Jawa.
Katakanlah buku tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, ternyata mampu mempertegas posisi Bangka Belitung. Apakah Anda setuju hal itu?
Saya belum baca tentang buku itu. Jadi saya tidak bisa beri komentar, tapi saya sangat percaya kepada lokaljenius, kepada kekuatan lokal. Sekarang ini kita harus berpikir pascaglobal. Jadi pertumbuhan sastra dengan khasanah lokal, tetapi dia membunyikan khasanah global.
Apa yang akan Anda katakan tentang kasus Lapindo, kasus BLBI dan korupsi di tingkat penegakan hukum?
Untuk Lapindo tidak ada hubungannya dengan hukum. Kalau dihubungkan dengan hukum penduduk harus menanti proses hukum. Bisa mati mereka kalau menanti proses hukum. Jadi sekarang juga harus dibayar. Siapa yang bisa menyatakan kalau Lapindo bersalah kalau bukan hukum? Tanggung jawab apa? Kalau tanggung jawab moral, semua dong yang berkewajiban. Inikan orang yang tidak tertib berpikirnya. Saya menguasai seratus persen soal Lapindo dengan segala fitnahnya. Saya ingin diadili soal Lapindo. Saya senang itu. Dari pada main internet sama juga main lempar batu dari jauh. Itu sama saja permainan orang yang pengecut. Alasannya hanya berani menulis seenak udelnya saja tetapi tidak berani menampakan jati dirinya, wajahnya, mukanya!
Kalau BLBI itu sama saja. Ya mau bagaimana memang negara ini aneh. Seperti pemberian bantuan lansung tunai (BLT), benar atau tidak BLT itu? BLT itukan kurang ajar banget. Yang namanya membantu itu kan orang yang mempunyai duit, membantu orang yang tidak mempunyai duit. BLT itu duit siapa? Yang diterima oleh rakyat itu duit siapa? Itukan duit rakyat. Lah kok pemerintah mengaku-ngaku duitnya. Jadi di sinikan pemerintahnya yang kurang ajar.
Apa yang akan Anda katakan tentang kinerja SBY-Kalla?
Ya kita harus jalani. Kita harus mempunyai dia (SBY-Kalla) dalam hidup ini kita harus mempunyai tahap. Kita harus mempunyai mereka. Seumpamanya kalau di Jawa itu kita harus memberi sesajian diperempatan jalan, meskipun itu dewanya tidak mau memakan itu, kita juga tidak enak untuk memakan itu, ya mau bagaimana lagi. Tetapi mereka belum pemimpin sama sekali.
Selain itu pula, apa komentar Anda tentang “Tragedi Monas” yang melukai banyak orang dan pelbagai pihak saling klaim?
Sampai sekarang tidak bereskan? Tidak dapat kesimpulan. Tidak dapat ilmu. Tidak dapat kearifan. Tidak dapat informasi. Begitulah Indonesia. Anda tahu tentan AKKBB, FPI, ya tahunya tidak banyakkan? Tahunya Habib Rizieq hanya suka kekerasan kan? Makanya yang paling nomor satu adalah mencari tahu. Jadi ada semacam jurnalisme semi investigatiflah. *

Biodata
Emha Ainun Nadjib (lahir di
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Lima tahun hidup menggelandang di
Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat
Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.

Monday, February 18, 2008

Kebijakan Pemko Bukitinggi Aneh

Pelaku dunia usaha Sumbar, Ridwan Tulus menilai, rencana Pemko Bukittinggi menutup objek wisata monumen Jam Gadang untuk per­ayaan pergantian tahun dalam mengatasi penyakit masyarakat, merupakan kebijakan aneh dan mengada-ada. “Itu kebijakan aneh dan mengada-ada, lebih baik cari solusi lain karena menutup Jam Gadang berdampak pada dunia pariwisata apalagi Bukittinggi adalah kota wisata,” kata Tulus di Padang, Jumat. Ia menyebutkan, masalah pariwisata Bukittinggi bukan pada kekhawatiran penyakit masyarakat tetapi karena kota ini terlalu penuh sesak pengunjung dan kemacetan lalu saat ada kegiatan wisata. Tak hanya itu, areal di sekitar Jam Gadang sudah sempit, masih saja dipersempit. “Jadi masalahnya bukan pada banyak orang yang datang, tapi lahan parkir yang tidak ada,” kata dia.

Sebelumnya Walikota Bukittinggi, Jufri, sebagaimana diberitakan Singgalang, mengatakan Jam Gadang ditutup bagi kegiatan perayaan pergantian tahun, untuk mengatasi penyakit masyarakat yang biasa terjadi pasca acara tahunan itu. Menurut Tulus yang pimpinan biro perjalanan wisata “Sumatera and Beyond” itu, menutup Jam Gadang bukan solusi mengatasi penyakit masyarakat dan perlu ditegaskan tidak ada kaitan antara kegiatan pariwisata dengan penyakit sosial tersebut. Apalagi momen pergantian tahun hanya sekali dalam setahun, apakah dengan menutup Jam Gadang pada kegiatan itu, penyakit masyarakat bisa diatasi. Lalu bagaimana dengan malam akhir pekan di objek itu apa tidak dikhawatirkan terjadi penyakit sosial, katanya. Menurut dia, Bukittinggi dengan suhu udara yang sejuk, cocok untuk berwisata sambil berjalan kaki, tanpa kendaraan ke pusat kota dan kawasan wisatanya.

Karena itu, buatlah kawasan parkir di luar pusat kota dan wisata­wan dapat berjalan kaki ke pusat kota dan objek wisata. “Ini menyenangkan karena suhu udara kota yang sejuk,” tambahnya. Kembali soal menutup Jam Gadang, Ridwan menyebutkan, untuk menga­tasi penyakit masyarakat yang dikhawatirkan terjadi saat acara pergantian tahun, lebih baik pada saat ini digelar iven pariwisa­ta bernuansa Islami. “Justru saat itu (perayaan pergantian tahun, red) bisa dijadikan sarana wisata dakwah,” tambahnya. Menanggapi kritikan kebijakan Pemko ini, Walikota Bukiitinggi, Jufri mengatakan, pihaknya tetap akan menutup Jam Gadang untuk perayaan tahun baru. “Kebijakan ini adalah prinsip dan tidak dapat ditawar-tawar lagi serta telah menjadi kesepakatan Pemko, Muspida dan masyarakat kota ,” katanya.

Bahkan masyarakat sudah berkomitmen, biarlah Bukittinggi sepi pengunjung wisata dari pada ramai tapi penuh penyakit masyarakat, tegasnya. Ia menjelaskan, penutupan Jam Gadang hanya dilakukan selama 13 jam selama menjelang dan setelah malam pergantian tahun, bukan untuk selamanya. “Jadi jangan memandang kebijakan ini hanya dari satu sudut saja,” tambahnya. Demikian Antara *
Sumber: Harian Singgalang, Sabtu, 16 Februari 2007

Friday, February 15, 2008

Malam Valentine Day di Bukittinggi

Tadi malam, 14 Februari 2008, Bukittinggi Kota Wisata, Parisj van Sumatra, berubah seperti Kota Madinah, bagai malam pertama Rama­dan. Ini bukan soal Jam Gadang yang berselimut, tapi soal paradok Valentine Day . Pada 49 masjid dan 80 musala dilangsungkan penga­jian. Di tiapnya, hadir pejabat. Jam Gadang tetap di sana , seperti nyonya besar mengawasi anak-anaknya. Sementara Walikota Bukittinggi Djufri jebolan ESQ itu, sedang berada di masjid, mengaji bersama warga dan para remaja. Pengajian di seluruh masjid temanya satu: Valentine Day (hari kasih sayang) bukan budaya Islam dan Minang. Sejumlah remaja kepada Singgalang mengatakan, mereka tahu, Valen­tine Day itu bukan budaya Islam dan sangat tahu bukan budaya Minang. “Tahu, kenapa sih ribet benar?” Kata salah seorang dari mereka.
Seorang remaja putri menyatakan perasaannya. Ia sedih, sebab menurutnya, moral remaja seolah-olah sudah bobrok benar, rusak dan akan masuk neraka. “Kami ini, dipersalahkan terus, bukankah bapak-bapak itu yang salah, kenapa kami yang jadi korban?” Ia bertanya. Lagi pula, katanya, dunia remaja tidak segawat yang dinilai oleh para pejabat dan ulama. “Kami juga belajar agama, dibimbing orangtua, sungguh saya sedih,” katanya.
Riuh-rendahSedih, sedih malah, yang jelas tadi malam Bukittinggi menyetel irama syahdu. Pengajian melantun dari masjid ke masjid, meliuk di udara Bukittinggi nan dingin. Wartawan Singgalang, tadi malam, melukiskan, Bukittinggi bagai malam pertama Ramadan. Di masjid dan musala, terlihat orang khusyuk mendengarkan penga­jian, tapi pasar dan jalanan tetap ramai. Yang ke pasar ke pasar juga, yang makan sate makan sate juga, yang mengocok teh telur terus juga. Yang main domino, sesudah Isya, tentunya. Dunia kecil Bukittinggi, riuh-rendah semalam tadi di masjid. Tidak ada Valentine Day, tapi siapa yang bisa jadi hakim bagi remaja yang bersileweran? Kabarnya, anak-anak pun akan dilarang membawa handphone (HP) ke sekolah. Malam terus merambat. Isya telah selesai, warga pulang ke rumah. Rutinitas kembali seperti biasa. Jam Gadang, tak berhenti berden­tang. Hari ini dan besok, entah apalagi yang akan terjadi. Kemis­kinan umat, ketertinggalan, pandangan miring akan Islam, hak-hak wanita yang terabaikan, mungkin menjadi pembicaraan di lain hari saja. o cun masido/af koto/kj
Sumber: Singgalang, Jumat, 15 Februari 2008

Mengapa Jam Ditutup?

Penutupan Jam Gadang di malam pergantian tahun bisa berdampak pada dunia pariwisata Sumbar dan akan membuat Bukittinggi buruk di mata dunia. Pasalnya, selama ini jam tersebut merupakan simbol atau icon Sumbar dan merupakan tempat tujuan wisata utama di daerah ini. Seharusnya Pemerintah Kota Bukittinggi menurut Ketua ASITA Sum­bar, Asnawi Bahar, kepada Singgalang , Kamis (14/2) di Padang, membuat kebijakan lebih baik dari hanya sekadar menutup jam tersebut. “Kebijakannya harus dikaji secara konprehensif dan tidak merugikan masyarakat. Juga jangan mengambil kebijakan dalam kondisi emosi,” ujarnya. Bila kebijakan itu dimaksudnya untuk menghindarkan kota wisata dari perbuatan maksiat, Asnawi tidak yakin. Karena, masih banyak tempat yang disinyalir bisa digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. “Tidak harus di bawah Jam Gadang dan di malam pergantian tahun. Berbuat maksiat dapat saja dilakukan orang-orang di mana pun dan kapan pun, tidak harus menunggu malam tahun baru,” sesalnya.
Terpenting, dalam pandangannya untuk menjaga kesucian di Jam Gadang dan sekitarnya dari perbuatan maksiat atau perbuatan tidak senonoh lainnya, Pemko Bukittinggi harus meningkatkan pengawasan. Agar, hal-hal yang tidak diinginkan itu tidak lagi terjadi. Pada dasarnya, perayaan pergantian tahun adalah sesuatu yang biasa. Hanya saja, gairah masyarakat untuk merayakan itulah yang membuatnya menjadi terkesan seperti luar biasa. Dan, Jam Gadang selama ini telah memberikan andil cukup besar dalam memberikan keindahan malam pergantian tahun. “Masa ini harus dirusak dengan rencana tersebut,” sesalnya lagi. Tidak hanya itu, imej pariwisata yang terus dibangun dengan baik bisa pula rusak dengan hal tersebut. Pasalnya, Jam Gadang adalah ikon wisata Sumbar. Walaupun diakuinya, tidak banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sana , tapi rata-rata wisatawan nusantara dan lokal banyak yang mendatangi bangunan di areal terbuka hijau Kota Bukittinggi tersebut.
“Apalagi, kalau malam tahun baru, banyak wisatawan nusantara dan lokal yang datang ke sana , begitu juga warga Bukittinggi, lalu di mana lagi tempat mereka merayakan pergantian tahun itu. Ibaratn­ya, jangan gara-gara tikus, lumbung yang dibakar,” sebutnya. Pemko Bukittinggi juga dinilai terlalu cepat melahirkan kebijakan untuk menutup Jam Gadang. Karena, pergantian tahun masih cukup lama. Untuk sampai ke penghujung tahun 2008, akan banyak peruba­han-perubahan yang bakal terjadi, sehingga kebijakan yang diren­canakan bisa saja menjadi tidak relevan lagi. Dari itu, dia berharap supaya Pemko Bukittinggi kembali memper­timbangkan kebijakan yang dilahirkannya. Supaya, masyarakat dan dunia wisata di daerah ini tidak dirugikan dengan lahirnya kebi­jakan tersebut. o 104

Sumber: Singgalang, Jumat, 15 Februari 2008


Menutup Jam Gadang Sudah Final

Kebijakan menutup Jam Gadang saat malam penyambutan tahun baru oleh Pemko Bukittinggi, bukan sesuatu yang lucu. Tindakan itu dalam rangka menyelamatkan masyarakat, terutama dari hal yang berakibat negatif. “Kebijakan itu sudah final dan melalui musyawarah. Jangan dinilai sebagai sesuatu yang lawak-lawak”, kata Masri Habib Dt. Pandak, Ketua Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, Kamis (14/2). Datuak Pandak mengungkapkan hal tersebut, sekaitan pandangan miring yang diapungkan berbagai kalangan di tingkat provinsi, serta komentar yang ditulis Wisran Hadi, menyusul dikeluarkannya statemen Walikota Drs. H. Djufri, perihal rencana penutupan Jam Gadang pada malam tahun baru, sebagaimana diberitakan Singgalang edisi Rabu 13 Pebruari 2008.
Menurut Datuak Pandak, ditutupnya Jam Gadang pada malam penyambu­tan tahun baru masehi itu, karena pada dasarnya pengunjung di pelataran Jam Gadang itu sangat berjubel. Mereka hanya ingin menikmati detik-detik menjelang berdempetnya jarum panjang dan jarum pendek Jam Gadang pukul 00.00 WIB. “Adakah orang lain yang memikirkan nasib puluhan bahkan mungkin ratusan ribu yang nyaris dalam kondisi berdempet di seputaran Jam Gadang itu,” kata Datuk Pandak mempertanyakan. Dalam kondisi seperti ini, andai terjadi sedikit saja keributan, akibatnya sangat fatal. Bisa menimbulkan korban jiwa. Karena waktu itu tidak hanya orang dewasa yang berkumpul di sana , tetapi juga anak-anak, bahkan perempuan hamil. Semuanya itu berlangsung pada malam hari.
Persoalannya akan semakin rumit lagi, bila timbul korban jiwa dalam kondisi beramai-ramai itu. Contoh terakhir adalah konser musik di Bandung yang menelan 11 korban jiwa. “Saya sudah berbicara langsung dengan Walikota Djufri, dia sempat menangis ketika mendengar berita orang meninggal dunia di Ban­dung , hanya karena menonton pagelaran musik. Potensi peristiwa seperti itu juga ada di Bukittinggi, terutama pada penyambutan tahun baru,” katanya. Kata Datuk Pandak, kalau korban sudah terjadi, yang disalahkan siapa? Pasti Pemko pula yang jadi kambing hitamnya. Semua orang akan menuding tentang kelalaian Pemko, ketidak-beresan walikota, ketidak-mampuan aparat keamanan dan banyak lagi sumpah serapah yang muncul. Menurutnya, sekarang Pemko tengah menyusun programnya agar ke­mungkinan terburuk itu tidak terjadi. Artinya, Pemko jauh hari sudah mencari sebelum hilang, memintas sebelum hanyut dan bakuli­mek sabalun abih atau lebih berhemat sebelum miskin.
Datuak Pandak menambahkan, dalam nada guyon, “tak ada urusan tikus di sini, dan tidak ada pula lumbung yang mesti dibakar”. Soal rencana kain penutupnya yang merupakan warna marawa atau panji-panji Minangkabau, agaknya memang belum banyak orang yang tahu, bahwa ketiga warna itu sudah merupakan kesepakatan tidak resmi digunakan untuk warna marawa , dan hal ini berlaku di Luak Nan Tigo. Entah kalau di luar ketiga luak itu. Kalau ketiga warna itu adalah warna bendera Jerman, itu kebetulan saja. Dan, tidak ada pula orang membantah bahwa warna hitam, merah dan kuning sebagai warna marawa Minangkabau.

Jangan sisi ekonomi saja
Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, DR. Zainuddin Tanjung, MA., menyebut kebijakan Pemko menutup Jam Gadang pada malam penyambutan tahun baru, jangan dilihat dari sisi ekonomi saja. Adalah pemikiran yang sangat dangkal bila melihatnya dari segi untung rugi secara finansial. Justru Pemko Bukittinggi mengambil kebijakan itu berdasarkan kajian substansi yang sangat luas, terutama terhadap adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah . Ditinjau dari segi budaya, kata Zainuddin, jangan dilihat dari sudut yang sempit atau pengertian umum. Memperingati dan meraya­kan datangnya tahun baru Masehi bukanlah budaya Minangkabau dan islami. “Agama Islam tidak mengajarkan memperingati tahun baru, termasuk tahun baru Islam sendiri yakni 1 Muharram. Bahkan lebih diperte­gaskan, Islam tidak menggariskan baik dalam wajib maupun sunat untuk melaksanakan acara ritual,” tambah Zainuddin.
Menurutnya, kebetulan 1 Muharram dijadikan sebagai hari libur nasional. Mumpung memanfaatkan hari libur, pada 1 Muharram terse­but sangat pantas dilaksanakan kegiatan yang bernuansa agama, seperti wirid, tablig akbar dan lain-lainnya. Tapi konteksnya tidak lari dari upaya untuk mensyiarkan ajaran Islam. Zainuddin juga mengggarisbawahi, apa yang diambil oleh Pemko ini, adalah sebuah kebijakan yang benar-benar menyentuh secara esen­sial nilai-nilai keagamaan di negeri ini. Patut didukung, karena tujuannya sangat mulia. Ia mengingatkan, bila pada malam penyambutan tahun baru, ratusan ribu orang berkunjung ke Bukittinggi dan dominan terfokus ke kawasan Jam Gadang sampai larut malam. Menjelang Subuh mereka bersebar, entah kemana. Ingat, mereka itu tidak hanya satu ke­luarga, tetapi yang lebih banyak adalah kaum muda. Ia juga tidak tahu, karena berasal dari luar kota , apakah mereka itu suami isteri, atau hanya sekadar berpasangan dan memanfaatkan momentum tahun baru untuk memadu kasih ke Bukittinggi.
“Kalau itu memang benar terjadi, laknat Allah tentu akan turun. Kita tidak ingin hal itu terjadi,” ulasnya. Zainuddin menegaskan, apa pun resikonya, dan apapun yang bakal terjadi, MUI dan segenap ulama Bukittinggi mendukung program yang dilaksanakan Pemko.

Tak bergeming
Bergemingkah Walikota Djufri? Ternyata tidak. Usai membaca Sing­galang tentang munculnya tanggapan yang bernada miring terhadap kebijaksanaan Pemko Bukittinggi tersebut, Djufri terlihat tersen­yum. Tidak sedikit pun terkesan di wajahnya rasa tidak senang. Kendati demikian, Djufri mengemukakan, bahwa kebijakan menutup Jam Gadang menyambut pergantian tahun baru masehi itu adalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Ini sudah merupakan kese­pakatan antara Pemko dengan Muspida serta masyarakat Bukittinggi sendiri. “Malahan dalam konteks pengembangan kepariwisataan Bukittinggi, masyarakat sudah sepakat biarlah Bukittinggi sepi dari pengunjung daripada ramai tapi penuh maksiat. Itu sudah komitmen warga kota ,” ulasnya.
Penutupan Jam Gadang hanya sekitar 13 jam, pada malam pergantian tahun Masehi. Bukan ditutup sepanjang masa. “Adalah sangat tidak pantas bila kebijakan ini dilihat hanya dari satu sudut saja,” kata Djufri. Dalam lima tahun terakhir, Pemko sudah mengantisipasi agar kera­maian di sekitar Jam Gadang berkurang dengan mengadakan pentas terbuka di Lapangan Kantin, dan kegiatan hiburan lainnya di berbagai tempat, termasuk di Ngarai Sianok. Namun menjelang pukul 00.00 WIB pada malam pergantian tahun, secara serentak orang menuju Jam Gadang. Tak bisa dihalangi, bahkan mengarahkannya saja tidak bisa. Maklum, ratusan ribu orang bergerak dengan satu tujuan, yakni melihat jarum Jam Gadang akan berdempet di pengujung tahun. Diakui banyak yang diuntungkan bila pengunjung berjubel. Tapi dalam suasana yang sulit diduga karena ramainya orang, dan terja­di keributan sehingga menimbulkan korban jiwa. Djufri mengajak, agar jangan melihatnya dari segi bisnis saja, tetapi harus dikaji secara lebih mendalam dan jalan pikiran yang jernih. o 202/203
Sumber: Singgalang, 15 Februari 2008

Wednesday, February 13, 2008

Wisata Hening, Jam Gadang Ditutup

Seperti inilah Jam Gadang saat pergantian tahun nanti. Tak jelas benar apa maksud dari penutupan Jam Gadang itu dengan perbuatan maksiat. Seakan-akan perbuatan maksiat itu terjadi di tahun baru saja. (Foto dok Singgalang)


Jam Gadang ditutup! Tak ada lagi dentang bunyinya. Tak ada jarum jam yang terlihat. Tak ada pesta, tak ada keramaian. Hening-hening saja. Diam! Itu nanti, malam old and new pergantian tahun 2008 ke 2009 menda­tang. Malam-malam penuh gemerlap di pelataran Jam Gadang pada tahun-tahun sebelumnya takkan terulang lagi. Begitulah berdasarkan pengalaman pada acara menyambut tahun baru 1 Januari 2008 lalu, maka mulai malam 31 Desember 2008 dan men­yambut tahun baru 1 Januari 2009, Jam Gadang ditutup dan kebijak­sanaan itu sudah disetujui Muspida.
Djufri pun berkisah. Pada Senin malam (31/12) lalu, di taman Jam Gadang diadakan pentas terbuka, dengan acara puncak menyambut tahun baru. Ternyata di seluruh pelataran dipenuhi warga. Namun di tengah kerumunan warga itu, ada beberapa keluarga yang mengge­lar tikar dan mereka duduk di sana sekeluarga. “Saya tidak dapat bayangkan, bagaimana bila terjadi keributan, tentunya keluarga yang juga mengikut-sertakan anak kecil ini bakal terinjak. Dan, bukan tidak mungkin bakal menimbulkan ko­rban,” Djufri menguraikanny . Justru itulah, tidak ada lagi acara penyambutan tahun baru di seputar Jam Gadang, meski orang-orang akan menikmati pergeseran tahun baru dengan berdempetnya jarum panjang dan jarum pendek pada Jam Gadang tersebut. Sisi lain, berdasarkan laporan petugas kebersihan pagi hari, banyak ditemui ‘balon', maksudnya kondom bekas. Ada apa ini? Nah, dari pada acara menyambut tahun baru berlanjut ke maksiat, Pemko Bukittinggi bersama Muspida sepakat akan menutup Jam Gadang dan tidak memberikan izin keramaian pementasan.
“Kuncinya adalah Bukittinggi harus bebas dari maksiat,” tegas Djufri. Bentuk penutupan Jam Gadang itu direncanakan mempergunakan marawa Minangkabau dengan tiga warna, yakni hitam, merah dan kuning. Ketiga warna tersebut adalah warna kebesaran Minangkabau. Soren­ya, 31 Desember sekitar pukul 17.00 WIB diadakan upacara penutupan Jam Gadang, dan esoknya, 1 Januari sekitar pukul 06.00 dibuka lagi, juga dalam sebuah upacara. Begitulah benarlah. o 202/203/432/K.01



Harian Singgalang, Rabu, 13 Februari 2008



Di Bukittinggi, Valentine Day Dilarang

Pemko Bukittinggi mengambil langkah berani, menutup habis semua bentuk kegiatan Valentine Day (hari kasih sayang). Kebijaksaan itu diambil setelah melaksanakan musyawarah dengan Muspida. Hotel, restoran dan sejenis dilarang mengadakan acara yang ber­nuansa maksiat tersebut, dan mungkin ini satu-satunya di Indone­sia Pemda melarang perayaan tersebut. Walikota Bukittinggi, Drs. H. Djufri, didampingi Wakil Walikota, H. Ismet Amzis, SH., dan Sekda Drs. H. Khairul, menyampaikan hal itu dalam jumpa pers, Selasa (12/2). Jumpa pers itu juga dihadiri PHRI Bukittinggi, Kakan Kesbanglinmas, Kakan Sat Pol PP, Kakan
Perhubungan, Kakan Pariwisata, Seni dan Budaya, dan Kabag Humas. “Saya sangat banyak menerima pesan pendek lewat telepon selular saya. Yang intinya melarang adanya perayaan Valentine Day di Bukittinggi. Masukan dari masyarakat itu dimusyawarahkan dengan Muspida, dan ternyata Muspida sepakat di Bukittinggi tidak ada acara perayaannya,” tegas Walikota. Selain banyaknya pesan pendek dari warga, seluruh wartawan yang bertugas di Bukittinggi, juga berharap yang sama. Warga tidak ingin di tanahnya ini ada acara yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Setelah dipelajari ternyata Valentine Day itu bukanlah budaya bangsa ini. “Ajaran agama yang kita anut, yakni Islam melarang acara seperti itu. Meski labelnya hari kasih sayang, toh bila sudah dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan, maka dia jadi terlarang. Agama apapun di muka bumi ini tidak membolehkan penga­nutnya melakukan perbuatan maksiat,” katanya.
Dan, hari kasih sayang yang dirayakan 14 Februari itu, lebih bermuatan maksiat ketimbang kasih sayang. Bagi umat Islam, sesuai apa yang disampaikan lewat Alquran maksiat tersebut sangatlah terlarang. Sebagai realisasinya, selain tidak akan mengeluarkan izin bagi hotel dan restoran untuk acara tersebut, izin yang sudah terlan­jur diberikan baik dalam pentas musik dan sejenisnya, akan dica­but. Perizinan yang tengah dalam proses dihentikan dan dibatal­kan. “Jangankan berbentuk acara, bentuk-bentuk propagandanya saja tidak boleh. Misalnya memasang spanduk, pamflet, stiker dan lainnya. Untuk itu SatPol PP Kota Bukittinggi siap mengawalnya. Pokoknya tidak ada Valentine Day,” Djufri sambil memerintahkan Kakan Pol PP untuk mengawal Bukittinggi Kamis malam lusa itu. Walikota juga menghimbau seluruh warga kota , terutama keluarga yang mempunyai anak perempuan atau anak gadis, agar tidak membo­lehkan anak gadisnya keluar malam, kecuali dengan alasan penting. Karena selain Pemko dan jajarannya, warga sendiri juga berkewaji­ban membantu menertibkan kota ini.
Untuk lebih terpadunya pengawalan pada malam Kamis lusa itu, Pol PP bekerjasama dengan Polresta Bukittinggi, Kantor Perhubungan, Kantor Pariwisata dan Kantor Kesbanglinmas melakukan penjagaan di titik-titik rawan dalam kota , di hotel-hotel baik berbintang maupun hotel melati, rumah makan dan restoran serta tempat-tempat keramaian lainnya. Sementara itu, Edison , Sekretaris Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bukittinggi, menyebutkan secara pribadi menyam­but baik langkah yang diambil Pemko tersebut. Namun, PHRI akan terus menyampaikannya kepada seluruh anggota PHRI Bukittinggi.
MUI dan LKAAM dukung
Sementara itu sejumlah elemen masyarakat, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, menyatakan mendukung langkah yang diambil Pemko Bukittinggi tersebut. DR. Zainuddin Tanjung, MA., Ketua MUI Bukittinggi, menilai Valen­tine Day dan acara menyambut tahun baru bertentangan dengan agama Islam. MUI bahkan sudah melakukan upaya antisipasi lebih awal, seperti turun ke seluruh sekolah pada 8 Februari dan memberikan ceramah agama tentang larangan merayakan hari kasih sayang itu. “Secara umum siswa menyambut baik himbauan yang disampaikan oleh MUI tersebut. Selain itu menerbit buletin sebanyak 18.000 eksemp­lar yang isinya himbauan kepada masyarakat terutama kaum muslimin dan muslimat agar tidak ikut-ikutan merayakannya,” tambah Zainud­din lagi. Ketua LKAAM Bukittinggi, M. H. Dt. Pandak, mengajak seluruh tokoh-tokoh adat di Bukittinggi untuk mendukung komitmen Pemko dalam melarang kegiatan perayaan Valentine dan perayaan menyambut tahun baru Masehi. “Sebab dipandang dari segi mana pun, termasuk dari sisi adat kegiatan itu jelas tidak sesuai. Apalagi bila melihat falsafah alam Minangkabau yang berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak Basan­di Kitabullah. Salah seorang tokoh masyarakat Kurai, Datuak Limbago Sati, perin­gatan tahun baru dan Valentine Day ini adalah usaha pihak luar yang hendak merusak akidah dan norma-norma yang berlaku di ranah Minangkabau ini. Adanya langkah yang diambil Pemko yang melarang kegiatan terse­but, dihimbau kepada seluruh anak kemenakan agar mematuhi dan memakluminya. Ini adalah langkah yang berani, tepat dan terpuji di kalangan masyarakat. Salah seorang cendekiawan Bukittinggi, H. Sabir, SH., menyikapin­ya bahwa perbuatan yang mengarah pada maksiat, tidak hanya ber­tentangan dengan agama dan adat di Minangkabau ini, hukum positif pun mengatur tentang itu. Pasal 281 KUHP, mengancam dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan, bagi barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan, dan barangsiapa dengan sengaja di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehen­daknya melanggar kesusilaan. -K.01/202/203/432

Singgalang, Rabu 13 Februari 2008

Wednesday, October 10, 2007

Sisi Gelap Gerilya Padri

TEMPO, Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007



Kekerasan gerilya Padri terungkap. Tak perlu revisi besar, tapi penting penambahan fakta sejarah.

NEGERI ini punya banyak pahlawan nasional. Keba�nyakan pahlawan lahir dari kancah perang geril�ya, termasuk yang dikobarkan gerakan Padri di Minangkabau, Sumatera Barat.

Sudah tertanam sejak sekolah dasar, gerakan Padri adalah gerakan antikolonial. Dua tokohnya, Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, adalah pahlawan nasional.

Era informasi ini membuat banyak peristiwa terpendam muncul ke permukaan. Satu dampak yang tak perlu dirisaukan, kalangan terdidik ramai menafsirkan kembali kriteria pahlawan. Di Bali, beberapa sejarawan melihat Puputan, yang dipimpin I Gusti Ngurah Made Agung, bukanlah perang rakyat Bali, melainkan hanya keluarga Puri Badung. Di Makassar, ada sejarawan yang melihat bukan Hasanuddin, melainkan Arung Palaka, yang membuat Sulawesi Selatan tak bisa sepenuhnya ditundukkan VOC.

Orang juga mempersoalkan Imam Bonjol. Sebuah petisi online yang dipublikasikan luas di Internet meminta pemerintah mencabut gelar pahlawan yang diberikan pada 1973.

Alasan yang dikemukakan mengagetkan, sekaligus ironis. Imam Bonjol bertanggung jawab atas pembantaian lokal. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural. Sayangnya, pemurnian memakan korban besar. Keluarga Istana Pagaruyung dijagal, di Tanah Batak terjadi pembunuhan massal. Dalam tragedi itu disebutkan banyak perempuan dirampas, diperjualbelikan.

Tuanku Imam Bonjol dan Tambusai dianggap mengetahui segala kekerasan itu tapi tidak mencegahnya. Mereka yang berusaha memahami kedua tokoh itu beranggapan adab lokal yang melegalkan perbudakan membuat kedua�nya memaklumi penjualan gadis. Penyerbuan ke Pagaruyung dan Tanah Batak, di mata yang pro, seakan dibenar�kan sebab dua daerah itu memihak kolonial. Pendapat yang antikekerasan belum pernah terdengar.

Bahkan belum ada risalah yang seimbang tentang kontroversi Padri. Polemik baru muncul pada 1964. Mangara�dja Onggang Parlindungan menerbitkan buku Tuanku Rao. Parlindungan adalah pejuang dan ikut mendirikan PT Pindad Bandung. Ia bukan sejarawan profesional. Meski isi bukunya menantang, secara metodologis ia memang amatir.

Pada Juni 1969, Parlindungan dan ulama terkenal Hamka bertemu dalam diskusi di Padang. Parlindungan tidak bisa menjawab banyak kritik Hamka. Buku Parlindung�an ditarik, tapi Hamka tidak berhenti. Pada 1974, pemuka agama itu mengeluarkan buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Polemik Padri tidak lantas mati. Penyebab terpenting, Hamka tidak membahas pokok soal: pembantaian Pagaruyung dan Batak. Buku Hamka kritis, tapi ia menghindar menulis tragedi berdarah tadi. Dan kini Tuanku Rao diterbitkan kembali. Bahkan sebuah buku baru kekejaman Tuanku Tambusai, karangan seorang ahli sejarah Mandailing, juga muncul.

Tak perlu cemas menyikapi pengungkapan fakta baru sejarah ini. Sangat tak beralasan menyulut konflik Minang dan Batak karena ada yang mendedahkan tarikh baru. Polemik Parlindungan dan Hamka sebenarnya contoh baik. Debat tidak melahirkan permusuhan etnis atau pembakaran buku histori. Keduanya bersahabat, Parlindungan selalu menjemput Hamka untuk salat Jumat bersama.

Nama Imam Bonjol biarlah tetap menghiasi buku sejarah, juga menjadi nama jalan di berbagai kota. Hanya perlu informasi tambahan tentang kekerasan Padri, tanpa bumbu sensasi, dalam rumusan yang disepakati bersama. Data baru itu penting untuk menambah kedalaman buku sejarah kita.

Thursday, October 4, 2007

Pimpinan Al Qiyadah Wajib Lapor


Poltabes Padang hanya mengenakan wajib lapor terhadap pimpinan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah Sumbar, Dedi Priadi (44), pasca-diamankannya 12 anggota aliran tersebut dan menjalani pemeriksaan hingga 11 jam. Dedi menantang MUI untuk melakukan dialog terbuka tentang mana yang paling benar.
Keduabelas anggota aliran yang diamankan polisi telah dilepaskan sejak Selasa (2/10) sekitar pukul 21.00 WIB. Kapoltabes Padang, Kombes Pol Tri Agus Heru Prasetyo melalui Kasat Reskrim Poltabes Padang Kompol Mukti Juharsa menyatakan polisi tidak melakukan penahanan terhadap 12 anggota aliran Al Qiyadah Al Islamiyah. “Hingga kini kasus tersebut masih dalam penyelidikan dan Dedi dikenakan wajib lapor,” tegas Mukti singkat. Kasus dugaan aliran sesat ini tidak lagi ditangani Satuan Intelkam, tapi telah ditangani Satuan Reskrim.

Sebelumnya, 12 anggota aliran Al Qiyadah Al Islamiyah diperiksa intensif Satuan Intelkam. Tidak ada keterangan resmi tentang perubahan satuan yang menangani kasus tersebut.Dedi kepada wartawan di Poltabes usai pemeriksaan Rabu (3/10), menyatakan dirinya hanya meminta perlindungan kepada kepolisian. “Saya merasa keselamatan saya terancam dengan adanya aksi massa Senin kemarin. Sehingga saya meminta perlindungan kepada kepolisian,” ujar ayah 7 anak ini. Hal senada diungkapkan istri Dedi, Maria (35), yang juga ikut dalam daftar 12 orang anggota aliran tersebut. Maria mengaku telah meninggalkan rumahnya dan telah pindah ke lokasi lain yang lebih aman.

Selanjutnya Dedi menantang MUI untuk melakukan dialog terbuka dengan dirinya. “Saya menginginkan diadakannya dialog terbuka dan bisa ditonton oleh semua masyarakat. Sehingga kebenaran dapat terungkap. Karena saya juga merasa terganggu dengan pemberitaan yang ditujukan kepada saya dan saya ingin menjelaskan ajaran sebenarnya. Tapi dengan syarat adanya mediator yang independen,” tandasnya. Dedi menilai fatwa yang dikeluarkan MUI Sumbar sifat dan skalanya hanya lokal, tidak nasional. Sehingga Dedi meragukan keabsahan fatwa yang dikeluarkan MUI Sumbar. ”Apakah fatwa tersebut telah dibuat dengan sebenarnya dan bisa dijadikan sebagai pedoman?” ungkap Dedi mempertanyakan.

Kasus ini berawal saat Aliran Al Qiyadah Al Islamiyah dinyatakan MUI Sumbar sebagai ajaran sesat dan menyesatkan serta telah keluar dari ajaran Islam melalui surat keputusan fatwa Nomor 1/Kpt.F/MUI-SB/IX/2007. Selanjutnya ratusan massa dari mahasiswa bersama masyarakat melakukan aksi dan menyegel markas aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di Jalan Dr Sutomo No 12 Padang, sekitar pukul 10.00 WIB, Selasa (2/10). Untuk mencegah aksi anarkis, polisi mengamankan 12 anggota aliran. Sebagian besar adalah keluarga besar pimpinan aliran tersebut, Dedi Priadi sang istri dan beberapa remaja serta mahasiswa.

MUI Siap Berdialog

Padang, Padek—Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar tidak menampik ajakan Dedi Priadi, pimpinan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah untuk berdialog. Namun, dialog yang dilakukan bukan lagi mengkaji hasil fatwa MUI yang telah dikeluarkan. Penegasan tersebut disampaikan Ketua bidang Fatwa MUI Sumbar Gusrizal Gazahar kepada wartawan di kantor MUI Sumbar kemarin. Menurutnya, MUI tidak akan melakukan pengkajian lagi terhadap hasil fatwa yang dikeluarkan. Karena fatwa tersebut merupakan hasil kajian yang mendalam dan tidak ada keraguan terhadap hasil kajian tersebut. “Kita tidak akan menolak untuk melakukan pertemuan. Tapi pertemuan kita lebih kepada penyadaran agar dapat bertobat dari kesalahan yang dilakukan,” kata Gusrizal seraya menunjukkan makalah dan buku Ruhul Qudus yang diturunkan kepada al Masih al Mau’ud yang menjadi bukti aliran tersebut sesat.

Periksa: Pimpinan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah Sumbar, Dedi Priadi (44) (kanan) keluar dari ruang pemeriksaan Sat Intelkam Poltabes Padang didampingi Kanit V Intelkam Poltabes AKP Hanafi, kemarin.


Gusrizal didampingi sejumlah pengurus MUI Sumbar ini di antaranya Ketua Bidang dakwah Duski Samad, Sekretaris Bidang Fatwa Ridwan Noer, Sekretaris MUI Edi Syafri, Guswandi Syas, Ketua Bidang Pendidikan dan Perempuan Hayati Nizar, Ketua Bidang Ukhuwah dan Keislaman Rusdi. Ia menyatakan MUI mengeluarkan fatwa tersebut sesuai dengan hasil sidang fatwa. Keluarnya fatwa MUI (MUI) Sumbar No. 1/kpt.F/MUI-SB/IX/07 tentang Al-Qiyadah al Islamiyah kata Gusrizal tidak mungkin dikeluarkan jika MUI tidak melakukan pengkajian yang mendalam. Apalagi, dalam ajaran tersebut kata Gusrizal telah merusak sendi pokok agama Islam dengan merubah syahadat dan kewajiban shalat.

“Dua hal ini menjadi hal pokok dalam ajaran Islam. Kalau ini sudah di putarbalikkan, apakah ini patut untuk ditinjau lagi,” tanya Gusrizal. Al Qiyadah Islamiyah ini lanjutnya telah mengubah syahadatain dari yang seharusnya “Asyhadu alla ilha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah menjadi Asyhadu alla ilaha illallah wa asyahadu anna masihal mau’udar Rasulullah”. Aliran ini juga mengingkari kewajiban lima waktu, bagi mereka shalat yang wajib hanya qiyamulail saja. Apalagi mereka menyakini adanya rasul setelah Rasulullah Muhammad SAW yaitu Al-Masih Al-mau’ud (Al masih yang dijanjikan), yang mengiklankan diri pada tanggal 23 Juli di Gunung Bunder Bogor.

Menurutnya, Sumbar termasuk satu dari tiga provinsi yang menyebarannya cukup besar. Yakni Yogyakarta dan Jawa Barat. Gusrizal mengaku tidak mengetahui secara pasti jumlah jemaah aliran ini di Sumbar, karena ajaran ini berlangsung dari rumah ke rumah dengan cara melakukan pengajian. “Ini jelas bertolak belakang dengan Islam. Makanya kita ada keraguan lagi terhadap aliran ini,” katanya. Keluarnya fatwa ini kata Gusrizal untuk memberitahukan kepada masyarakat agar tidak terjerumus dengan ajaran ini. Selain itu, Gusrizal meminta kepada masyarakat yang sudah terlanjur masuk dalam ajaran ini agar segera kembali pada ajaran yang benar. “Yang pasti, keluarnya fatwa ini harus segera dapat ditindaklanjuti oleh MUI kabupaten/kota sehingga tidak terlambat lagi pembubaran aliran ini,” katanya.

Gusrizal khawatir jika penanganan aliran ini terlambat dilakukan justru akan sulit untuk membubarkannya dan dapat memicu munculnya aliran-aliran baru yang justru menyesatkan. “Kita lihat saya contoh Ahmadiyah yang jelas-jelas sudah dilarang, tapi kenyataannya tetap plang nama Ahmadiyah terpajang,” tambah Gusrizal. Selanjutnya, katanya MUI Sumbar akan melakukan pertemuan dengan Pakem Sumbar Jumat (5/10) mendatang. Untuk membahas kelanjutan pembubaran aliran ini. Saat ini Gusrizal mengaku sedang melakukan pengkajian terhadap aliran yang sedang berkembang. Namun Gusrizal tidak mau mempublikasikan, karena masih dalam proses pengkajian. MUI tidak akan membuat opini publik, jika suatu ajaran tersebut belum cukup bukti disebut sebagai aliran sesat. (afi)

Padang Ekspres, Kamis, 04-Oktober-2007, 09:26:40

Wednesday, October 3, 2007

Tak Akui Muhammad Sebagai Rasul Terakhir


Padang, Padek—Walau sudah dinyatakan sesat oleh MUI, namun pemimpin Al Qiyadah Al Islamiyah tetap mengaku bahwa aliran yang mereka anut tidak sesat. “Ajaran kami tidak sesat sedikitpun juga. Buktinya apa yang kami anut dan jalankan ini adalah sebuah kebenaran,” ujar pemimpin Al Qiyadah Al Islamiyah, Dedi Priadi di Mapoltabes Padang, kemarin.

Sebetulnya, kata dia, apa yang dilakukan pengikut alirannya tak berbeda dengan apa yang dijalani oleh umat Islam. “Kami juga melaksanakan shalat dan memakai Alquran sebagai kitab dan panduan dalam menjelangkan ibadah.” Selain menjalankan ibadah layaknya orang Islam, ulas Dedi, aliran yang dianutnya juga mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi yang terakhir. “Muhammad adalah nabi terakhir tapi bukan rasul terakhir. Karena saat ini telah ada rasul yang bernama Al Masih Al Maw’ud. Beliau merupakan orang Indonesia dan kini berada di wilayah Indonesia,” akunya.

Tegasnya kata Dedi, sumber utama ajaran yang dianut alirannya tetap Alquran dan hadist. ”Kami tak pernah memakai sumber lain,” ungkapnya. Selain membeberkan ajarannya tidak sesat, Dedi juga mengaku telah dua tahun mendalami ajaran tersebut. “Saat ini kami telah memiliki 500 orang pengikut dan akan meneruskan ajaran tersebut,” tegas Dedi. Terkait dengan tuduhan bahwa ia telah menginjak-injak Alquran, Dedi membantah. ”Saya tak pernah menginjak Alquran, malah meninggikan kedudukannya.” Sebagai bentuk tanggung jawab dan yakin dengan apa yang dianutnya tidak sesat, Dedi menyatakan siap berdialog dengan MUI yang telah memfatwa aliran Al Qiyadah Al Islamiyah sebagai aliran sesat.

MUI Akan Berdialog

Seusai menemui Kapoltabes Padang, Ketua MUI Kota Padang Prof Dr H Syamsul Bahri Khatib, menyatakan siap berdialog dengan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah. ”Kita akan berusaha untuk menyadarkan bahwa yang mereka yakini tersebut adalah aliran yang salah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang berlaku,” ulas Syamsul.
Menurutnya ada tiga dasar aliran Al Qiyadah Al Islamiyah yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yakni shalat hanya dilakukan satu kali dalam sehari dengan jumlah rakaat yang tak menentu dan di malam hari, shahadat yang berbeda dan hanya berpedoman pada Alquran semata dan mengenyampingkan hadits rasul.

Orasi: M Shidiq dari Majelis Muhajidin berorasi sesaat sebelum penyegelan markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah, di Jalan Dr Sutomo No 12, Padang Timur kemarin. Buku Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang diduga sesat.

“Lazimnya shahadat yakni Ashaduallah Ilaahaillallah Waasyhaduanna Mumamadarrasulullah. Sedangkan shahadat mereka, Ashaduallah Ilaahaillallah Waasyhaduanna Al Masih Al Mau’ut. Ini bisa menyesatkan masyarakat dan menghilangkan kenyamanan di tengah masyarakat,” ulas Syamsul. Sedangkan Kakan Kesbangpol Padang, Surya Budi menyatakan akan segera dilakukan pertemuan tingkat muspida untuk menyikapi adanya aliran sesat tersebut. “Untuk sementara kita akan mencermati dan mempelajari aliran ini. Setelah dipastikan sesat maka kita akan mengambil keputusan yang tegas.” (cr1)

MUI Telah Lalui Pengkajian 6 Bulan

Padang, Padek—Dikeluarkannya Fatwa tentang Al-Qiyadah Al Islamiyah yang dinyatakan sebagai ajaran ini sesat dan menyesatkan, menurut Ketua MUI Bidang Fatwa Gusrizal Gazahar karena banyaknya pengaduan masyarakat serta orangtua korban, yang anaknya masuk dalam aliran tersebut. MUI telah melakukan pengkajian selama 6 bulan untuk melakukan kebenaran dari pengaduan masyarakat tersebut.

“Awalnya kita mendapat informasi dari mantan anggota yang pernah masuk aliran tersebut. MUI pun meminta data-data yang ada mulai dari makalah dan buku Ruhul Qudus yang diturunkan kepada al Masih al Maw’ud hingga rekaman ceramah,” kata Gusrizal. Untuk mengkroscek hal tersebut, kata Gusrizal MUI pun mengutus tim untuk bertemu langsung dengan tokoh aliran ini. MUI langsung bertemu dengan Hery Mulyadi yang menjadi petinggi dari aliran ini. “Ternyata dari pertemuan tersebut, apa yang dikatakan Herry dengan apa yang diadukan orangtua serta makalah-makalah tidak ada perbedaan. Kami punya rekaman pembicaraan dengan Herry tersebut,” kata dosen IAIN Imam Bonjol ini.

Dari pertemuan tersebut, maka MUI Sumbar memutuskan dengan tidak ada keraguan bahwa ajaran yang dikembangkannya sangat menyesatkan. Dalam fatwa tersebut ada 9 ajaran yang bertentangan dengan islam. Yakni Al Qiyadah Islamiyah telah mengubah syahadatain dari yang seharusnya “asyhadu alla ilha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah menjadi Asyhadu alla ilaha illallah wa asyahadu anna masihal Maw’udar Rasulullah”, aliran ini mengingkari kewajiban lima waktu, bagi mereka shalat yang wajib hanya qiyamulail saja, menyakini adanya rasul setelah Rasulullah Muhammad SAW yaitu al-masih al-Maw’ud (al masih yang dijanjikan), yang mengiklankan diri pada tanggal 23 Juli di Gunung Bunder Bogor.

Selain itu, Al-Qiyadah al-Islamiyah memandang umat lain yang tidak masuk anggotanya sebagao orang musyrik dan najis, aliran ini mengingkari Sunah Rasul atau hadist Nabi Muhammad secara menyeluruh, menyakini bahwa peran kerasulan Muhammad SAW sudah berakhir dengan kematiannya sekaligus ajaran-ajarannya yang disampaikan oleh Rasul al Masih al Mau-ud. Mereka juga melakukan penafsiran Alquran menurut hawa nafsu tidak mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab dan kaidah ilmu tafsir seperti surat Al –A’raf ayat 185 digunakan sebagai alasan menolak hadist atau sunnah nabi. Aliran ini dalam ajarannya telah mencampur adukan antara Islam dan Injil. Aliran ini menyebarkan gerakkan yang berpotensi memecah belah umat karena dalam ajarannya mereka terdapat lima fase gerakan perjuangannya salah satunya ada fase qital (memerangi orang yang tidak masuk dalam kelompok mereka).

“Kita khawatir jika fase qital sudah dimasuki akan memecah umat islam sendiri,” kata Gusrizal. Para penganut aliran ini kata Gusrizal diserahkan para aparat kepolisian. Karena harus ada proses hukum terhadap penganut aliran ini. “Kita tidak ingin memukul rata semua penganut aliran ini. Karena kadang ada yang masuk aliran tersebut karena tidak memiliki pemahaman yang dalam tentang islam. Kita mengharapkan para penganut aliran ini dilakukan penyadaran sehingga kembali kepada ajaran islam,” pungkasnya. (afi)


Padang Ekspres, Rabu, 03-Oktober-2007, 09:36:14

Ajaran Sesat Digrebek Massa

Padang , Singgalang- Markas jemaah Al- Qiyadah Al-Islamiyah di Jalan Dr. Sutomo No.12 Padang , digerebek massa massa Selasa (2/10) pagi. Massa menuding Al- Qiyadah sebagai aliran sesat. Polisi mengevakuasi 12 pengikut aliran tersebut ke Mapoltabes. Aliran ini mengaku Al Masih Al Ma­w'ud sebagai rasul Allah setelah Nabi Muhammad dan diturunkan di Indonesia. Bacaan Syahadat aliran tersebut berbeda dari umat Islam lainnya yakni berbunyi Ashadu alla ilaha illallah wa asyahadu anna masi­hal mau'udar Rasullah . Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatra Barat dalam Kepu­tusan Fatwa No.1/Kpt.F/MUI-SB/IX/2007 tanggal 24 September 2007 menyatakan ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah ajaran yang sesat dan menyesatkan dan telah keluar dari ajaran Islam.

Fatwa tersebut ditandatangani Pimpinan Sidang Fatwa H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag., sekretaris Prof. Dr. Edi Sjafri Dt. Panduko Sati dan diketahui Ketua Umum MUI Sumbar Prof. Dr. H. Nasrun Haroen, M.A. Dedi Priadi, 44, pemimpin aliran tersebut, membantah Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat. Namun dia membenarkan mereka hanya melakukan salat satu kali saja sehari, yaitu pada malam hari. Ada rasul sesudah Nabi Muhammad yaitu Al Masih Al Maw'ud yang diturunkan Tuhan di Indonesia . Mereka mengingkari hadis nabi karena dirawikan setelah 320 tahun Nabi Muhammad wafat. “Hari ini kami mengamankan satu keluarga atas nama Dedi bersama anak-anaknya yang pagi tadi sempat menjadi perhatian masyarakat Padang ini karena diduga melakukan ajaran sesat. Kami sudah amankan mereka di Poltabes ini. Kami sekarang sedang melakukan pemeriksaan terhadap mereka, kami sedang menggali sebetulnya bagaimana ajarannya, apakah sudah tidak sesuai dengan aqidah Islam,” kata Kapoltabes Padang Kombes Drs. Tri Agus Heru P., didampingi Kasat Reskrim Kompol Mukti Juharsa, SiK., kepada wartawan kemarin.

Kalau nanti terbukti, kata Kapoltabes Padang itu, ajaran tersebut melakukan penodaan terhadap ajaran Islam akan dilakukan proses penyidikan kasus tersebut. Markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Jalan Dr. Sutomo No.12 Padang untuk sementara disegel dan tidak dibolehkan melakukan aktivitas. Kapoltabes Padang berharap masyarakat tidak bertindak anarkis dan menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada polisi. “Yang kami sampaikan ini adalah Alquran. Wajib salat, wajib berzakat, cuma kata Allah yang salat bukan hanya rukuk dan sujud saja. Muhammad Rasul Allah, Al Masih Al Maw'ud Rasul Allah sete­lah Muhammad. Kenapa harus Muhammad orang Arab, Al Masih Al Maw'ud orang Indonesia , dia ada di antara kita, ada di Jakarta mungkin di Padang , yang pasti dia di Indonesia ,” kata Dedi Priadi dengan nada tinggi sambil mengajak wartawan berdebat tentang Alquran.

Sementara itu Koodinator Lapangan (Korlap) massa yang menggerebek markas aliran tersebut M. Sidiq menyatakan, terpaksa melakukan penggerebekan karena aliran tersebut telah meresahkan umat Islam di Kota Padang dan memutuskan hubungan anak dan orangtua yang masuk aliran tersebut. Aliran itu berpendapat yang bukan anggota mereka adalah kafir. Ormas Islam yang ikut menggerebek markas aliran tersebut antara lain Pagari Nagari, Majelis Mujahidin, Sapta, Front Masyarakat Pembela Islam dan gabungan beberapa organisasi mahasiswa. Usai beraksi di Jalan Dr. Sutomo tersebut massa beralih ke Kantor PT Usba di Jalan Veteran No.4 Padang . Mereka meneggarai pimpinan PT Usba sebagai pimpinan aliran tersebut. Oleh sebab itu massa minta PT Usba ditutup. Mereka yang diamankan ke Mapoltabes Padang antara lain Dedi Priadi dan istri, Gerry, dan tujuh anak-anak Dedi Priadi. Hingga tadi malam Dedi Priadi masih menjalani pemeriksaan di Mapoltabes Padang sebagai saksi. o 107/smr

Sumber: Singgalang, Rabu,3 Oktober 2007

Wednesday, September 19, 2007

Soeharto, Pemimpin Pencuri Aset Negara Versi PBB


SUMBER: Muhammad Hasits - Okezone

Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan program pengentasan budaya korupsi yang disebut "Penemuan kembali aset yang hilang" di Markas PBB di New York. Dalam kesempatan tersebut dirilis juga 10 nama pemimpin dunia yang digolongkan sebagai pencuri aset negara.

"Saya bergembira dan mengucapkan selamat datang di UN dalam acara yang sangat penting ini. Peluncuran ini adalah langkah utama dalam rangka upaya mengatasi masalah korupsi dengan serius," kata Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam pernyataannya yang dikutip situs Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (18/9/2007).

Dalam daftar yang dikeluarkan PBB, Soeharto masuk sebagai satu dari sepuluh pemimpin dunia yang dianggap telah mencuri kekayaan negara. Bekas penguasa orde baru ini diperkirakan telah mencuri kekayaan negara senilai Rp15-35 miliar dolar AS.

"Masalah korupsi dapat menghilangkkan demokrasi dan nilai-nilai hukum. Hal ini juga membawa pada kejahatan hak-hak manusia. Selain itu dapat mengikis kepercayaan publik kepada pemerintah. Hal ini bisa juga membunuh. Dengan contoh: ketika korupsi mengizinkan sesuatu kesalahan ditutupi dengan menerima suap atau sogokan untuk memudahkan aksi-aksi teroris dimanapun," jelas Ban.

Selain Soeharto terdapat juga sembilan pemimpin dunia lainnya, yang masuk dalam kategori yang sama. Mereka adalah:

  1. Soeharto (Indonesia) pada tahun 1965-1997, kerugian negara USD 15-35 miliar
  2. Ferdinan Marcos (Filipina) pada tahun 1972-1986, kerugian USD 5-10 miliar
  3. Mobutu Sese Seko (Zaire) pada 1965-1997, kerugian negara USD 5 miliar
  4. Sani Abacha (NIgeria) pada 1993-1998, kerugian negara USD 2-5 miliar
  5. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000, kerugian negara USD 1 miliar
  6. Jean Claude Duvailer (Haiti) 1971-1986, kerugian negara USD 300-800 juta
  7. Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000, kerugian negara USD 600 juta
  8. Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996-1997, kerugian negara USD 114-200 juta
  9. Arnold Aleman (Nikaragua) 1997-2002, kerugian negara USD 100 juta
  10. Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001, kerugian negara USD 70-80 juta

Sunday, September 16, 2007

Goenawan Mohamad:

"TUK itu Bukan Organisasi, Bukan Mazhab"


Pengantar:
Di tahun ini, panggung susastra Indonesia agak panas dengan munculnya gerakan-gerakan yang "menghujat" TUK (Teater Utan Kayu). Mereka menuding TUK , baik secara terang-terangan maupun diam-diam, sebagai sarang "Gerakan Syahwat Merdeka" (GSM). Istilah tersebut pertama kali dicuatkan oleh Taufik Ismail. Ada yang bilang, GSM yang dimaksud adalah inisial dari nama lengkap sastrawan kondang Goenawan Soesatyo Mohamad yang akrab dipanggil GM - salah seorang pendiri Majalah TEMPO.

Lalu muncul ikrar "Ode Kampung" di Rumah Dunia Banten yang juga "menghajar" TUK. Kelompok yang dimotori oleh Saut Situmorang dan kawan-kawan ini tak kenal lelah terus 'mengonceki' para tokoh KUK, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Hasif Amini, Sitok Srengenge dan lainnya. Di mata Saut yang nyalang, mereka tidaklah layak digelari sebagai sastrawan.

Tak heran, di berbagai forum termasuk di milis-milis, Saut dan kawan-kawan terus berkampanye untuk menghajar mereka dari berbagai sudut. Namun, tonjokan-tonjokan yang mereka lakukan selalu berbalas pantun dengan orang-orang yang tak setuju perseteruan itu, apalagi kalau dilakukan dengan bahasa yang kurang santun.

Puncaknya adalah kala harian Media Indonesia memuat sebuah artikel tentang acara berkelas internasional yang digelar oleh TUK dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) beberapa waktu lalu. Karena isinya amat memojokkan TUK, tak heran kalau TUK bereaksi keras dengan mencap artikel tersebut penuh dengan lumuran dusta. Menurut kabar terakhir dari Saut Situmorang melalui email, penulis artikel tersebut telah digeser jabatannya.

Namun kini, Rumah Dunia yang konon anti pornografi belum bereaksi ketika puisi Saut Situmorang yang "panas" termuat di Harian Republika. Selain "berbau ranjang bergoyang", puisi tersebut juga menyinggung perasaan sebagian umat Hindu Bali, karena jelas-jelas menyebut "pura" dan "Dewa". Reaksi dan komentar pun mengalir, baik di milis maupun blog.

Sayangnya, untuk kasus yang amat serius ini redaksi Republika masih diam seribu bahasa. Padahal Republika baik sengaja atau tidak telah melukai hati umat Hindu Bali. Beberapa umat Hindu pun melayangkan tanggapan ke redaksi Republika, namun tak ada balasan. Mereka cuma berharap agar tanggapan tersebut minimal dapat dimuat di Surat Pembaca. Mereka juga tak menginginkan harian Republika untuk meminta maaf kepada mereka.

Berikut wawancara khusus Rizka Maulana (RM) dengan GM yang berlangsung di Teater Utan Kayu (TUK) pada Jumat, 14 September 2007 lalu:

RM: Apakah mas Goen mengikuti keramaian di internet karena satu sajak Saut Situmorang dianggap menyinggung perasaan umat Hindu Bali?

GM: Tidak langsung. Saya selalu dapat kiriman email dari teman-teman. Tetapi tidak semuanya sempat saya baca. Tetapi seorang teman mengirimkan khusus soal yang Anda sebut tadi.

RM: Menurut mas GM, apakah sajak Saut itu menghina agama Hindu Bali?

GM: Saya bukan orang Hindu Bali, tetapi saya tidak mau berlebihan. Teman saya Ging Ginanjar yang kini mukim di Jerman mengatakan, (saya kutip menurut ingatan saya) bahwa agama dan umat Hindu tidak akan rusak karena sajak itu. Saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi dapat saja terjadi bahwa ada umat Hindu Bali yang tersinggung perasaannya. Kan tidak bisa kita melarang orang untuk tersinggung.

Yang penting ialah bahwa ketersinggungan itu dinyatakan tetapi tidak memakai kekerasan dan memobilisasi kemarahan. Saya membaca tulisan I Gde Purwaka di blog Mediacare. Dia tersinggung tetapi tidak akan men-somasi atau mendemonstrasi Republika. Saya kira itu sikap yang dewasa dan terhormat. Berbeda dengan sikap sejumlah organisasi yang mengatas-namakan Islam yang sedikit-sedikit “terhina” dan berdemo.

RM: Tetapi kenyataan bahwa sajak itu dimuat di “Republika” yang dianggap suara Islam bagaimana?

GM: Seharusnya tidak jadi soal di mana saja itu dimuat. Sebuah sajak kan bukan sebuah editorial. Lagipula harus dibuktikan dulu, apakah “Republika” adalah “suara Islam”. Islam itu tidak satu ekspresinya dan “Republika” juga tidak selamanya dianggap satu suara utuh, apalagi ini bukan dalam halaman editorial.

Kalau tidak, kita akan terjatuh ke dalam teori komplotan: gara-gara sajak itu dimuat Ahmaddun, maka itu berarti itu cerminan sikap anti Hindu “Republika” apalagi “Islam”. Saya kira Ahmaddun memuatnya tidak dengan maksud menghina.

RM: Menurut mas GM, apakah sajak Saut itu bermutu?

GM: Menurut saya, sajak itu bukan sajak yang mengejutkan dalam hal kekayaan imajinya, dan di sana-sini belum orisinal, tetapi agaknya bukan sajak yang buruk. Ada beberapa sajak Saut yang saya suka, karena tidak melingkar-lingkar.

RM: Wah, kan Mas GM orang TUK. Kan TUK tidak suka karya-karya sastrawan yang tidak dekat dengan TUK. Apalagi Saut.

GM: TUK itu kan bukan organisasi. TUK kan tempat kegiatan seni dan gagasan. Di TUK tidak selamanya kami sepaham dalam menilai karya – dan kami umumnya tidak membicarakan karya Saut, atau yang lain, karena masing-masing sibuk. Kami cuma bertemu seminggu sekali untuk merancang program. Itu saja sudah berat.

RM: Jadi Mas GM, Hasif Amini, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge tidak selalu sependapat?

GM: Ya, dong. Sekali lagi, TUK itu bukan organisasi, bukan mazhab. Hasif Amini bekerja untuk Kompas dengan timnya sendiri, Nirwan di Koran Tempo begitu juga. Malah sajak saya pernah tidak dimuat oleh Hasif.
RM: Begitu ya? Sajak yang mana?

GM: Judulnya “Di Korintha”. Akhirnya sajak itu saya muat di buku pernikahan Hamid Basyaif.

RM: Mas GM ngambek?

GM: Ya, nggak lah. Kan penilaian saya terhadap karya sendiri tidak selalu benar.

RM: Kalau di Koran Tempo?

GM: Saya dapat kesan (tapi tidak pernah saya tanyakan) Nirwan baru mau memuat tulisan saya untuk rubrik yang diasuhnya kalau sudah nggak ada tulisan lain. Nirwan sangat ketat (dan saya anggap sangat bagus) dalam menjaga asas: jangan sampai mentang-mentang karya orang TUK dan Tempo, maka gampang diterima.

RM: Terima kasih, Mas Goen. Ini menarik sekali.

Catatan:Hasil wawancara ini boleh dikutip seperlunya oleh rekan-rekan wartawan tanpa perlu minta izin sebelumnya.

Monday, September 10, 2007

Bahasa Indonesia Alami Penurunan Mutu

MEDIA massa memiliki peran penting dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kata ‘unduh’, ‘canggih’, ‘tombol’ muncul di masyarakat berkat sosialisasi media massa. Di sisi lain, media massa juga memberi sumbangan negatif, yaitu menyuguhkan kekerasan fisik dan verbal. Sialnya, itu terjadi pada jam produktif bagi anak menonton tayangan televisi. Demikian diungkapkan Dr. I Wayan Pastika, M.S., dosen Fakultas Sastra (FS) Unud dalam diskusi “Sumbangan Media Massa kepada Perkembangan Bahasa Indonesia” yang diadakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Bali bekerja sama dengan FS Unud, Kamis (30/8). Diskusi diawali Orasi Ilmiah berjudul “Fonetik Eksperimental dan Manfaatnya pada Kajian Fonologi” oleh I Nyoman Suparwa. Kegiatan tersebut berlangsung dalam rangka ulang tahun ke-49 Fakultas Sastra Unud.

Pastika yang membawakan materi “Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar Dalam Acara TV” itu mengatakan, bahasa Indonesia dewasa ini (terutama sejak merebaknya stasiun televisi) mengalami penurunan dari segi mutu karena penggunaannya hampir tanpa kendali baik dari segi leksikal, gramatikal, maupun sosial. Peran media massa sangat besar dalam memberdayakan suatu bahasa menjadi bahasa yang bermartabat tanpa terlalu banyak dikendalikan oleh unsur-unsur bahasa lain.

Bahasa Indonesia yang kita tuturkan dewasa ini bukanlah bahasa pijin (sebuah bahasa yang dibentuk dari percampuran dua bahasa atau lebih) atau bahasa kreol (bahasa pijin yang dijadikan bahasa ibu oleh suatu guyub tutur). Namun, sejak reformasi sistem perpolitikan di Indonesia, nasib bahasa Indonesia terancam oleh masuknya kosakata dan struktur bahasa asing dan daerah. Masuknya sistem bahasa lain ke bahasa Indonesia hampir tanpa melalui proses penapisan sehingga dapat mengacaukan sistem bahasa Indonesia yang pada akhirnya dapat menggoyahkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai penanda jati diri bangsa Indonesia.


“Menurut pengamatan saya dari segi penggunaan bahasa, siaran berita telah menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa. Hal ini dapat dilakukan karena ranah berita menggunakan ragam tulis,” kata Editor Pelaksana Jurnal Terakreditasi Nasional Linguistika ini. Namun, Metro TV mempunyai kegemaran mengklasifikasikan acara-acaranya (terutama siaran berita) dengan istilah-istilah asing, seperti Headline News, News Flash, Live by Phone, Top Nine News, dan Business Corner. “Benarkah akan terjadi penurunan jumlah pemirsa apabila stasiun televisi itu mengganti istilah asing dengan bahasa Indonesia, yakni Berita Utama, Sekilas Berita, Langsung melalui Telepon, Sembilan Berita Utama, Sudut Usaha?” tanyanya. “Judul acara hanya pandangan pertama yang kemudian dengan mudah ditinggalkan jika tak sesuai keinginan pemirsanya,” tambahnya.



Bahasa Kasar
Pastika juga menyoroti bahasa sinetron. “Hidup kita di Indonesia tidak didominasi oleh Jakarta, termasuk bahasa. Jika dicermati, tayangan televisi nasional banyak menggunakan bahasa Melayu-Jakarta,” ujar doktor linguistik dari Faculty of Arts The Australian National University, Canberra itu. Percampuran kosakata Melayu-Jakarta dengan bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk penghilangan jati diri bahasa Indonesia. Ia mencontohkan, 90% sinetron menggunakan bahasa Melayu-Jakarta. Sinetron “Untung tidak selalu Untung” (SCTV), “Soleha” (RCTI), “Hikayah” (Trans), dan “Candy” (RCTI) disebutnya sebagai contoh. Cuplikan sinetron “Untung tidak selalu Untung” yang dicatatnya antara lain “ya deh”, “gua blum bikin PR nih”, “udah deh, PR gua nggak perlu dibacain”, “baru tau rasak, lho”. Jika bahasa ini diungkap kepada orangtua yang hanya mengerti bahasa Indonesia, tentu mereka tak mengerti.

“Berbeda halnya kalau film televisi itu adalah film impor,” katanya. Sebagian film impor diterjemahkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam umum. Tahun 1980-an, film Jepang berjudul “Oshin” sangat digemari masyarakat karena ceritanya menarik dan mengandung pesan moral positif. Film “The Jewel of Palace” (Indosiar) juga digemari karena mengandung filsafat hidup yang menghargai sesama dan etos kerja. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia ragam lisan umum seperti “Aku tidak mengerti mengapa kejadian seperti ini selalu kualami”, “Aku rasa aku tidak bisa memakannya. Apakah kau bisa memakannya?”, “Nanti kau akan mendapatkan kembali pekerjaanmu”. “Meskipun bukan bahasa Melayu-Jakarta, film ini tetap digemari masyarakat umum,” katanya.

Pastika pun mengritik bahasa pesohor seni seperti pemain film, penyanyi, dan pembawa acara televisi. Saat mereka berbicara dalam acara televisi yang bersifat informal, mereka lebih menggunakan bahasa “gaul” yang pada intinya juga sebuah bahasa pijin. “Mereka berbahasa seenaknya, tidak sadar bahwa mereka tidak terbatas berada di studio televisi,” kritiknya. “Lu ngomong dong. Enak aja.”, “Gue ngadepin biasa aja.”, “Kayak gini, ngapain pegang-pegang.” merupakan contoh cuplikan pembawa acara dan pesohor yang dicatatnya dalam acara “Infotainmen” dan “Ada Gosip”.

Buruknya lagi, petelevisian di Indonesia sudah menganggap bahwa bahasa kasar merupakan hal yang biasa. Bahasa kasar merupakan bentuk kekerasan verbal dan diyakini membawa pengaruh tidak baik bagi perkembangan emosi dan budi pekerti. “Diam, tolol” dan “Kalau nongol, mukanya dipecahin” menjadi contoh bahasa kasar yang dianggap lucu dalam lawakan “Tawa Sutra”. “Di luar negeri, stasiun televisi yang menyiarkan bahasa kasar, ada sanksinya. Di sini malah biasa. Tak mengherankan, perilaku kasar adalah hal yang biasa dalam masyarakat kita,” sindirnya.

Menurut Pastika, berbahasa kasar bertolak belakang dari nilai-nilai budaya kita. “Kalau kita berbicara, harus menjaga mulut kita karena menyangkut etika,” jawabnya menanggapi pertanyaan Pius, mahasiswa FS Unud. Nyoman Suparwa, dosen FS Unud memperhatikan penggunaan kata “joss” yang sangat sering dipakai Harian Denpost. “Kadang dipakai untuk anak-anak yang disetubuhi, kadang untuk PSK. Konotasinya apa? Hati-hati, koran juga dibaca oleh anak-anak,” katanya.

Ida Bagus Martinaya, Redaktur Bali Post yang juga menjadi salah seorang pembicara utama dalam diskusi tersebut menyatakan, kata ‘joss’ diambil dari kata ‘extra joss’. “Menurut penyair, kata ‘joss’ memiliki kedekatan rasa dengan ditusuk dan dicoblos. Tetapi, seharusnya gunakan saja ‘diperkosa’,” kata Gus Martin. Ia menyatakan bahasa koran yang baik harus memiliki sifat komunikatif, informatif, efektif, inovatif, dan reaktif. Pastika berpendapat, kata ‘joss’ berkonotasi ‘enak’ yang terkesan menistakan orang lain. “Untuk anak-anak yang bernasib sial, kata itu seolah menertawakan mereka,” tandasnya.

Peran media massa dalam pengembangan bahasa Indonesia juga menjadi perhatian Sukarda dari FS Unud. “Kalau Pusat Bahasa memasarkan bahasa bisa ditolak, tetapi kalau media massa, langsung diikuti,” katanya. Oleh karena itu, Pastika mengatakan, Pusat Bahasa harus bisa “memasarkan” bahasa Indonesia kepada media massa. “Media massa harus mengikuti perkembangan produk Pusat Bahasa. Mereka harus punya kepedulian terhadap kebahasaan, terutama lembaga yang mampu secara ekonomi,” imbuhnya.

Laksmi dari MGMP Bahasa Indonesia SMK mengatakan, penggalan kata yang ada di koran banyak yang tidak tepat. Ini tentu membingungkan. Ia juga mencermati bahasa iklan. “Kalau baku, bahasa iklan memang kurang pas tetapi jangan sampai membingungkan,” pintanya. Contoh, iklan shampo yang berbunyi, “Sunsilk untuk rambut hitam berkilau.” “Untuk apa rambut yang sudah hitam diberi Sunsilk. Kata ‘untuk’ harusnya ‘agar’,” koreksinya.

Djoko, dari RRI Stasiun Denpasar mengatakan, RRI pernah bangga karena menjadi rujukan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemunculan televisi dan radio swasta sangat kuat pengaruhnya. Masyarakat lebih memilih koran dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tetapi tidak memilih radio berbahasa Indonesia yang baik dan benar. “Sekarang kami sulit mencari pewara atau reporter yang memiliki spontanitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” akunya.

Widminarko, Pemimpin Redaksi Koran Tokoh menambahkan, penggunaan bahasa di media massa perlu ada rambu-rambunya. Tiap media massa, bahkan lingkungan kerja lainnya, perlu memiliki ‘buku pintar’. “Penggunaan bahasa Indonesia di media massa perlu memperhatikan aspek logika dan ekonomi kata,” katanya.
Ida Bagus Suwana dari SMAN 1 Denpasar menanyakan, apa yang bisa kita lakukan mengatasi masalah kebahasaan itu? “Kita harus mulai dari diri sendiri. Sejak tiga tahun lalu, keluhan terhadap tayangan televisi kita sudah dilaporkan ke KPI. Tetapi, hingga saat ini tetap saja acara penuh kekerasan disiarkan. Saya sanksi jika kita memerlukan sanksi untuk itu. Masalahnya, ini ibarat kita terbiasa makan yang enak tetapi tidak sehat. Orang Jepang makan sushi yang tidak enak tetapi panjang umur. Mana yang kita pilih?” ujar Pastika. - rat



Ratna Hidayati
Koran Tokoh
Gedung Pers Bali K. Nadha Lantai 3
Jalan Kebo Iwa 63A Denpasar, Bali
Tlp. +62 361 416 676, 740 2414
Faks. +62 361 416 659
SUMBER Koran Tokoh Edisi Minggu 9 September 2007

Thursday, September 6, 2007

Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen

OLEH MOHAMAD GUNTUR ROMLI

Kepribadian dan pengetahuan Muhammad dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Salah satu lingkungannya adalah kaum cerdik pandai Kristen.

Jauh sebelum kenabian Muhammad telah ada anasir-anasir kenabian dan ketauhidan (monoteisme) yang merujuk pada peran dua komunitas teologis di Mekkah, yang warganya dikenal sebagai penyembah berhala. Yang pertama ialah pengikut al-hanîfiyah yang mendaku sebagai ahli waris ajaran Ibrahim. Abdul Muthalib yang adalah kakek Muhammad dan ketua Bani Hasyim merupakan tokoh terpenting dalam aliran ini. Tercatat pula nama Zaid bin Amru, paman Umar bin Khathab, yang memiliki syair-syair kepasrahan. Salah satu baitnya, aslamtu wajhi liman uslimat, lahu al-ardlu tahmilu shakhran tsiqâla, ’aku pasrahkan diriku pada Dia, seperti kepasrahan bumi yang membawa batu karang yang berat’.

Yang kedua adalah komunitas Ahli Kitab. Ini sebutan bagi pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Orang Kristen di kalangan Islam disebut sebagai Nasrani yang dinisbatkan pada al-Nâshirah atau Nazaret, asal Isa al-Masih. Namun, bagi orang Kristen mayoritas, Nasrani di Jazirah Arab adalah sebuah sekte. Berbeda dengan bangsa Arab yang mandul dari kenabian, bangsa Yahudi subur dengan kenabian. Dua komunitas itu punya satu misi. Sama-sama memusuhi kaum pagan. Pada masa itu mereka tersebar luas di Jazirah Arab. Orang Yahudi bermukim di Yastrib (Madinah), orang Kristen menunjukkan pengaruhnya di Mekkah.

Menurut Al-Ya’qubî dalam Tarîkh: orang Quraisy yang memeluk Kristen dari Bani Asad antara lain adalah Utsman bin al-Huwairits dan Waraqah bin Naufal. Khadijah yang istri Muhammad berasal dari bani ini. Informasi yang lebih menarik datang dari Muhammad bin Abdillah al-Azraqi dalam Akhbâr Makkah (Kabar-kabar Mekkah), tentang gambar dan arca Isa (Yesus) bersama ibunya, Maryam (Maria), di Kabah. Ketika berhasil menaklukkan Mekkah dari pemeluk pagan, Muhammad membersihkan Kabah dari segala perupaan, kecuali Isa dan Maryam. Arca tersebut baru hancur bersama puing-puing Kabah akibat perang di era Yazid bin Muawiyah.

Mengakui

Alquran (al-Ma’idah: 82) menegaskan kedekatan orang Kristen dengan Muhammad yang berbeda dari orang Yahudi dan kaum pagan Mekkah yang bersikap memusuhi. Orang Kristen mencintai Muhammad dan pengikutnya "karena di antara mereka ada pendeta-pendeta (qissîsîn) dan rahib-rahib (ruhbân) dan mereka tidak menyombongkan diri". Maksudnya, mereka mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mengikutinya.

Yang terkenal adalah Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah. Dia memberi kesaksian terhadap wahyu pertama yang diterima Muhammad dan disebut dalam riwayat al-Bukhari hadis nomor tiga sebagai "seorang yang memeluk Kristen pada zaman Jahiliah, menulis kitab dalam Ibrani, dan mampu menyalin dari Injil Ibrani".

Kependetaan Waraqah ditegaskan Muhammad dalam Sîrah (biografi Muhammad) karya Ibn Ishaq (1999: 203): "Sungguh aku telah melihat Pendeta (Waraqah) berada di surga dengan memakai pakaian dari sutra." Dalam versi riwayat lain hadis tadi adalah respons ketika nasib Waraqah di akhirat dipertanyakan karena tetap setia memeluk Kristen sampai akhir hayatnya meski ia menyaksikan kenabian Muhammad.

Para penyair Kristen dan al-hanîfiyah melantunkan syair-syair keagamaan mereka di pasar-pasar Mekkah, khususnya di Ukadz. Alquran (al-Furqan: 7) menyebut kebiasaan Muhammad menjelajahi pasar-pasar bukan bertujuan berbelanja, melainkan menyimak dan mengamati seluruh kegiatan pasar yang berfungsi pula sebagai "festival kebudayaan".

Dua jilid karya Luis Syaikhu, Târîkh al-Nashrâniyah wa Adâbuhâ Bayna ’Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Arab Kristen di Era Arab Jahiliah) terbitan Dar al-Masyriq, Lebanon, tahun 1989, menjelaskan peran nyata kaum cerdik pandai Kristen terhadap kebudayaan Arab. Syaikhu menyebut peran Umayyah bin Abdillah bin Abi Shalat, penyair Kristen era Jahiliah yang memiliki syair-syair keagamaan. Syair-syair Umayyah telah mengenalkan nama-nama lain Allah yang disebut al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama terbaik). Demikian juga nama malaikat Jibril, Izrail, dan Israfil; tingkatan surga dan neraka; tujuh lapis langit dan bumi; asal-usul penciptaan alam; kisah Adam-Hawa dan dua anaknya; air bah Nuh; Yunus (Yunan) yang ditelan dan bisa hidup di perut ikan; serta kisah-kisah para nabi lainnya hingga kisah Ashabul Kahfi yang masyhur di kalangan orang suci Kristen sebagai les Sept Dormants (Tujuh Orang yang Tertidur) yang merujuk pada masa pertengahan abad ke-3 Masehi.

Demikian pula dua kawasan yang menjadi tujuan utama kafilah niaga Kabilah Quraisy: Yaman dan Syam. Keduanya merupakan pusat kekristenan. Yaman dikuasai oleh dinasti Kristen Habsyah (Etiopia) yang mengikuti aliran monofisit-koptik, sedangkan Syam diperintah oleh dinasti Ghassan yang mengikuti aliran monofisit-yakobis. Muhammad telah mengunjungi dua kawasan itu ketika masih remaja bersama kafilah pamannya, dan saat jadi buruh niaga Khadijah. Pusat kekristenan lain di al-Hira diperintah oleh dinasti Kristen Lakhm yang mengikuti aliran monofisit-nestorian.

Khadijah

Khadijah menurut informasi sejarah adalah istri Muhammad yang berasal dari keluarga Kristen di Mekkah (Bani Asad). Sumber sejarah Islam tak ada yang secara tegas menyebut agama Khadijah sebelum Islam. Namun, ada fakta menarik mengenai keteguhan Muhammad tetap setia monogami dan tidak menikah lagi, kecuali setelah Khadijah wafat. Monogami dan perceraian atas dasar kematian adalah tradisi kekristenan kuno yang berbeda dari tradisi poligami bangsa Arab.

Khadijah berjuluk al-Thâhirah (Perempuan Suci). Ini simbol teologis. Perempuan terhormat biasanya cukup disebut al-Syarîfah atau al-Karîmah. Perempuan suci dalam Kristen disebut santa. Diakah Santa Khadijah? Julukannya yang lain Sayyidah Nisâ’ Quraisy (Puan dari Seluruh Perempuan Quraish) yang memperlihatkan Khadijah sebagai "perempuan suci dan pilihan".

Gelar dan pengakuan terhadap Khadijah ini bisa disamakan dengan pengakuan Alquran terhadap Santa Maria, Bunda Yesus, dalam Surat Ali Imran Ayat 42 yang menyatakannya sebagai "perempuan pilihan dan suci".

Khadijah bisa dibilang "ibu" Muhammad karena perbedaan umur mereka yang terpaut 25 tahun. Dalam Ansâb al-Asyrâf (Nasab-nasab Orang Mulia) karya al-Baradzari, Muhammad menikah pada usia hampir 21 tahun—merujuk pula pada kebiasaan pemuda Arab waktu itu yang menikah pada umur 20 tahun—sedangkan Khadijah berusia 46 tahun. Menurut Bint Syathi’, penulis buku Nisâ’ al-Nabî (Istri-istri Nabi), peran Khadijah sebagai istri sekaligus ibu bagi Muhammad tak hanya bersumber dari perbedaan usia, tetapi juga tersebab Muhammad anak yatim piatu yang kehilangan kasih sayang ibunya.

Bagi Khalil Abdul Karim, penulis Fatrah Takwîn fi Hayâti al-Shâdiq al-Amîn (Periode Kreatif dalam Kehidupan Muhammad) terbitan Dar Mishr al-Mahrusah, Cairo, tahun 2004, Khadijah adalah "arsitek" kenabian yang dibantu oleh "komunitas inteligensia Kristen". Mereka adalah Waraqah bin Naufal dan adiknya, Qatilah, seorang rahibah, serta saudara sepupu mereka, Ustman bin al-Huwairits, yang mengikuti aliran Kekristenan Bizantium (Melkitis) hingga diangkat menjadi kardinal. Khadijah memiliki dua budak Kristen: Nashih yang jauh- jauh hari meminta tuannya menikah dengan Muhammad, dan Maisarah yang bertugas mengamati Muhammad dalam perniagaan ke Syam. Selain dengan anggota keluarganya, Khadijah juga membangun korespondensi dengan beberapa pendeta: Adas di Taif, Buhaira di Bushra, Syam, dan Sirgius di Mekkah. Buku Khalil tadi merujuk pada sumber-sumber primer Sîrah Muhammad yang jarang disentuh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Ibn Sayyidi al-Nas, al-Halabiyah, al-Syamiyah, Târîkh al-Thabari, dan al-Ya’qubi.

Khadijah dan timnya telah mengamati Muhammad sejak lama. Dalam Sirah Ibn Katsir diriwayatkan Khadijah sudah dikabari oleh Nashih, budaknya, dan Pendeta Buhaira di Syam untuk menikah dengan Muhammad. Dikisahkan juga bahwa Qatilah telah menawarkan diri kepada Abdullah, ayah Muhammad, untuk dijadikan istri karena Abdullah memiliki "cahaya kenabian". Buhaira telah melihat Muhammad dua kali sebelum penetapan kenabian. Informasi ini menunjukkan bahwa komunitas itu mengamati keluarga Muhammad secara saksama.

Khadijah mengangkat Muhammad sebagai buruhnya saat berusia 18 tahun agar bisa mengamatinya dari dekat. Sebelum menikah, Muhammad telah melakukan dua perjalanan niaga Khadijah ke Habsyah dan ke Syam. Niaga ke Habsyah hampir tidak disebut dalam versi umum biografi Muhammad, tetapi kisah itu dituturkan oleh sejarawan klasik, seperti al-Thabari, al-Suhayli, dan al-Maqrizi.

Sementara dalam perniagaan ke Syam, Khadijah perlu menyertakan seorang hambanya bernama Maisarah yang kenal baik dengan Pendeta Buhaira untuk mengamati gerak-gerik Muhammad, khususnya pertemuannya dengan Buhaira.

Setelah yakin bahwa Muhammad adalah sosok tepat dari beberapa pertimbangan (keluarganya yang menjalankan prosedur kenabian, nasihat-nasihat anggota komunitasnya, serta pengamatannya secara langsung), barulah Khadijah melamar Muhammad tak hanya sebagai suami, tetapi lebih itu dari sebab—dalam kata-kata Khadijah sendiri—"aku sangat ingin agar kamu (Muhammad) menjadi nabi bagi umatmu."

Dalam proses pernikahan mereka, tampak kegembiraan Abu Thalib dan antusiasme Waraqah dari pembacaan khotbah nikah mewakili pihak keluarga Khadijah. Sedangkan wali Khadijah—bapaknya, al-Khuwailid atau pamannya, Amru—tidak terlalu antusias dengan pernikahan itu. Bagi mereka, Muhammad tetap dipandang sebagai anak yatim yang berasal dari keluarga miskin. Adapun Khadijah dan Waraqah memiliki tujuan lain dengan pernikahan itu.

Nubuat kenabian

Pernikahan Muhammad yang berasal dari keluarga al-hanîfiyah (Bani Hasyim) dengan Khadijah yang berasal dari keluarga Kristen (Bani Asad) adalah koalisi kelompok ketauhidan melawan kelompok pagan.

Dua komunitas tersebut telah membangun suasana-suasana kenabian. Nubuat kenabian dari jalur Abdul Muthalib telah dikabarkan jauh sebelum Muhammad lahir. Abdul Muthalib dengan sadar telah mempraktikkan kembali semacam prosedur-prosedur kenabian. Posisinya seperti Ibrahim yang memusuhi berhala dan menyembelih anaknya sebagai kurban bagi Allah. Abdul Muthalib telah menyerukan ajaran Ibrahim itu dan bernazar menyembelih putranya, Abdullah, ayah Muhammad.

Masa pernikahan hingga pewahyuan yang terentang kira-kira 20 tahun—Muhammad menerima wahyu berumur 40 tahun—adalah "tahun-tahun yang hilang" dari kehidupan Muhammad yang disebut oleh Khalil Abdul Karim sebagai fatrah al-takwîn (periode kreatif). Muhammad adalah seorang ummî (buta huruf), maka di masa-masa itulah Khadijah, Waraqah, dan kaum cerdik pandai Kristen memiliki andil dalam menyiapkan proses kenabian Muhammad. Di siang hari Muhammad menjelajahi pasar-pasar di Mekkah yang membuatnya mengetahui segala kisah dan perkembangan masyarakatnya. Di malam hari Muhammad akan menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan Khadijah.

Adalah hal biasa bila Waraqah sering berkunjung untuk menceritakan hal-hal yang ia ketahui dari kitab-kitab yang ia salin. Kita bisa membayangkan betapa marak aktivitas-aktivitas dalam rumah Khadijah yang dipenuhi kaum intelektual yang memiliki ambisi kenabian itu.

Khadijah bersama Waraqah telah membimbing Muhammad menelusuri tangga-tangga spiritualitas hingga mencapai puncak kenabian. Perkembangan Muhammad diamati secara saksama oleh Khadijah, baik dengan mengantarnya ke Gua Hira untuk menyendiri—tradisi yang telah dilaksanakan pengikut al-hanîfiyah termasuk kakeknya, Abdul Muthalib—maupun ketika Muhammad mulai didatangi "suara- suara" yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Khadijah-lah yang menguji kualitas "suara" itu apakah berasal dari malaikat atau setan. Menurut Sîrah al- Halabiyah, dalam menguji suara itu Khadijah di bawah bimbingan Waraqah, yang pakar masalah kenabian dan pewahyuan.

Tak hanya itu. Ketika Muhammad memperoleh wahyu pertama, Khadijah yang memiliki inisiatif mendatangi anggota kaum cerdik pandai itu satu per satu, dimulai dari Waraqah dan Sirgius di Mekkah, Adas di Thaif, hingga Buhaira di Syam. Tujuannya tak hanya meminta konfirmasi tentang kebenaran pewahyuan itu, tetapi juga mengumumkan bahwa seorang nabi telah datang.

Jadi, kita bisa melihat bahwa Muhammad bukanlah nabi yang datang dari dunia antah berantah. Kepribadian dan pengetahuannya telah dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Khadijah bersama komunitas memiliki pengaruh yang tak bisa disanggah. Kenabian dan pewahyuan itu adalah hasil dari eksperimentasi kolektif setelah melalui proses kreatif yang sangat panjang.

MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal

SUMBER: KOMPAS, SABTU, 1 SEPTEMBER 2007